Fifthy Six

4.5K 276 6
                                    

"Bisa bapak pulang sekarang juga?" pinta Nuha dengan tulus. Matanya berair. Ibunya masih melotot.

Yohan pamit undur diri. Laki-laki itu sebenarnya berniat meminta maaf pada ibu Nuha. Laki-laki itu mengira ibunya Nuha sudah tau secara detail jika anak sulungnya telah terbunuh. Ibunya tercekat ketika mendengar alasan permitaan maaf yang di lontarkan oleh laki-laki itu. Laki-laki menyesali tindakanya yang terburu-buru. Ia malah mendapat masalah baru. Dan semakin di benci oleh Nuha.

Setelah kepergian Yohan yang sudah semenit lalu meninggalkan halaman rumah mereka. Nuha dan ibunya terdiam di ruang tamu.

"Jelaskan pada Ibu. Apa yang sebenarnya terjadi." ibunya membuka suara dengan lirih.

Nuha segera mengamit kedua kaki ibunya. Ia menangis tersedu-sedu.

"Jelaskan pada ibu. Ibu tidak butuh air matamu." Ibunya pun sesenggukan.

"Apa maksud laki-laki itu?kalau kakakmu di bunuh. Katakan pada Ibu!" Air mata berlinang membasahi pipi ibu Nuha lagi.

Nuha meringkuk di pangkuan ibunya. Lalu ia mengangkat wajahnya. Mencoba menatap tatapan garang ibunya. Itu lah yang pantas ia terima saat ini. Kemarahan ibunya.

"Maafin Nuha. Sebenarnya ...," suara gadis itu tercekat.

"Kak Indah. Dia meninggal karena terbunuh. Dulu ...."

Nuha pun menceritakan semuanya pada ibunya. Ibunya hanya bisa menutup mulutnya untuk menahan tangis. Mereka berdua terisak. Ibunya sangat marah dengan ketidakjujuran Nuha. Ibunya sangat marah, karena Nuha begitu terlambat untuk memberitahunya. Pertanyaan yang membeku di pikiran ibunya terjawab sudah. Anak sulungnya tidak mungkin bunuh diri. Ibu Nuha ingin semua di proses dengan adil. Wanita itu ingin Abrianan di penjara.

"Abriana sekarang ada di rumah sakit jiwa, Bu. Ia sudah mendapatkan balasanya."

Ibunya tercengang lagi.
****

Dalam beningnya air danau. Suara angin yang menderu. Dan Matahari yang tak lagi membara, membuat mereka diam untuk sesaat. Miranda masih hanyut dalam kesedihanya. Ia melamun. Sampai Fathan juga tidak enak untuk angkat suara. Ia ingin menceritakan semuanya. Meluruskan kesalahpahaman antara gadis itu dengan perempuan yang dicintainya.

Kaki gadis itu mengayun. Air matanya masih saja menetes. Wajahnya tak lagi ber-make up. Sudah tak ada lagi celah untuknya memikirkan image buruknya di depan Fathan. Yang Ia pikirkan saat ini hanyalah sikap keras kepala orang tuanya. Meskipun Miranda sudah menasehati mereka. Nyatanya mereka masih merasa tidak bersalah. Ia hanya berharap Tuhan membuat mereka sadar. Dan kini ia sedang berperang dengan perasaannya sendiri, antara pulang kerumah atau menjadi gadis pengembara.

Fathan jadi kesal. Harus berapa lama lagi ia harus menunggu gadis itu berhenti menangis. Ia juga belum shalat Asar'.

Gadis itu menoleh pada Fathan yang sibuk mencabuti ilalang yang mengelilingi bangku kayu itu. Sekali-kali ilalang itu dikunyahnya.

"Kak ...."

Fathan berhenti. Ia menoleh. Akhirnya gadis alien itu memanggilnya.

"Yang peka dong! peluk aku ... aku kedinginan. Ambilin aku tisu. Aku butuh bersihin ingus." Permintaan gadis itu pasti panjang.

Cowok itu memutar matanya malas.

"Emang siapa yang nyuruh loe kesini! Gue mana tau! ada kunti nyasar ke sini."

Gadis itu melotot sekaligus sadar bagaimanapun juga ia yang salah.

Miranda membuang ingus dengan khusyu' dengan menggunakan handuk Fathan. Berhubung Fathan mengerti kondisi suasana sedih melingkupi gadis itu. Ia ikhlas-ikhlas saja.

"Maaf." Gadis itu berkata pelan. Angin membawa suaranya.

"Apa?" Fathan mendekatkan telinganya.

"Aku minta MAAF!" bentak gadis itu.

"Tumben." Fathan menutupi dua lubang telingannya.

"Aku udah nguping. Aku nguping kalian waktu itu. Di coffee Martin."

Fathan sedikit terperanjat. Tak mengira jika Miranda mengikuti mereka berdua. Ia yakin gadis itu sudah tahu semuanya. Semua tentang kejadian yang sebenarnya.

"Aku udah tau semuanya, Kak. Aku sadar sekarang. Aku salah. Kakak dan orang tua ku juga salah. Mereka jahat. Mereka nggak punya hati!" Lagi-lagi Miranda menyeka ingusnya. Fathan semakin miris dengan nasib handuknya.

"Yang pantes dapat permintaan maaf itu bukan gue. Tapi Ustadzah Nuha. Loe wajib minta maaf sama beliau."

Miranda merunduk. Ia tidak PD untuk meminta maaf pada Nuha.

"Aku malu. Ustadzah Nuha pasti sudah benci banget sama aku. Aku udah jahat banget sama beliau. Aku yang udah nyulik Arwa, ngempesin ban motor, bahkan aku juga yang udah menjatuhkan cat itu dengan sengaja." gadis itu merengek lagi. Ia menunggu kepekaan Fathan membelai rambutnya. Atau sekedar menepuk pundaknya. Tapi cowok itu malah ....

Menutup telinganya.

Fathan tidak suka suara gadis itu. Cempreng. Lama-lama ia akan budeg jika masih stay di sana. Fathan terkejut juga ketika berusaha mencerna pengakuan Miranda, yang pernah menculik Arwa.

"Ustadzah Nuha pasti bakalan maafin loe, kok. Beliau perempuan yang sangat baik."

Dan juga cantik.

"Loe juga wajib minta maaf sama Arwa. Dia hampir stress gara-gara perbuatan loe yang nggak masuk akal itu."

"Iya, Kak. Tapi kalo untuk minta maaf ke Kak Arwa, aku pending dulu ya? Aku takut dijambak! Terus dilaporin ke polisi."

"Iya, itu sih terserah loe. Gue cuma ngingetin. Pengadilan Ahirat lebih rumit nanti ketika kita udah di alam barzah. Loe nggak bisa langsung ketemu Arwa disana seinstan loe ketemu dia sekarang. Maaf itu perlu. Itu sebagai tanda kalo loe orang yang beradap, yang bertanggung jawab."

"Masak, sih kak. Sampai segitunya kehidupan diakhirat?"

"Iya. Aku waktu ngaji diterangin kayak gitu." Fathan masih memandang lurus pemandangan yang tersaji di depannya.

Miranda jadi paham, mengapa Pak Ilyas sering menunjuk Fathan mengisi kultum setelah pelaksanaan Shalat Dhuha.

Gadis itu juga sekarang paham. Cowok itu begitu kentara jika begitu menyukai Nuha. Itu tampak dari wajah cerahnya ketika mengucap kata 'Nuha'. Ah. Kapan ya, ia bisa mendapat cowok sholeh kayak Fathan. Ia jadi ingin menjadi pribadi yang baik.

Gadis itu menunduk lagi. Mungkin ini memang jalannya harus melupakan cowok itu. Fathan sudah menyukai perempuan lain. Dan itu bukan dirinya. Ia tidak mungkin lagi tega memaksa Fathan untuk bersamanya.

"Aku minta maaf juga sama, Kakak. Aku udah maksa Kakak buat jadi pacarku. Padahal Kakak nggak cinta sama aku."

"Iya. Dan satu hal lagi. Jangan berani-berani buat nyium pipi gue lagi. Itu dosa, Mir! Kesucian diri itu penting di mata Allah. Enak aja kamu main nyosor. Tubuh gue ini cuma buat yang halal. Buat istri gue nanti."

"Iya, Kak. Sekali lagi maaf. Miranda bakal berubah kok. Miranda nggak bakal lagi main nyosor."

"Apalagi kamu ini seorang perempuan, Mir. Sebagai muslim loe wajib menutup Aurot. Itu rambut harus kamu tutupi. Liat nih, gue jadi dosa, kan. Secara nggak langsung gue udah liat aurot loe."

"Iya, Kak. Insyaallah Miranda bakal pakek hijab,Kak."

Sesaat, hening kembali menawan mereka. Nyiur angin mulai mengeringkan tiap helai rambut Miranda.

"Semoga kakak, suatu saat nanti bisa ndapetin hatinya Ustadzah. Kalian memang cocok," dengan tangan gemetar disertai tangisan yang tak bersuara, Miranda mengikhlaskan Fathan. Dan mencoba mengubur perasaannya dalam-dalam.

Kita mungkin berhak untuk menyukai seseorang. Tapi kita tidak berhak memaksakan orang lain untuk menyukai kita.

"Sudahlah ... gue ini cuma makhluk Allah. Loe nggak  perlu nangisin cinta semu seperti itu."

I Love You Ustadzah (Lengkap Dan Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang