Lebihkan cintamu hanya untuk Allah. Bukan pada ciptaannya yang mana seperti hal nya aku. Karena aku belum tentu adalah taqdirmu.
~Nuha~
___________♡♡♡___________
Nuha terpekur melihat kebahagiaan Fathan. Hanya karena ia mengatakan 'baiklah' mengapa Fathan harus sebahagia itu? tak bisa dipungkiri, hatinnya juga ikut bahagia melabuhkan hatinnya untuk Fathan.
Dua insan itu masih berada di sebuah taman. Mereka duduk di bangku panjang. Dengan Nuha berada paling ujung kanan. Sedangkan Fathan duduk di ujung lain. Mereka tidak berdua, banyak pejalan kaki hilir mudik lewat di depan mereka. Tempat itu semakin sore semakin ramai.
"Nanti kalau kita sudah menikah. Bisakah kamu memberiku panggilan sayang?" Fathan melirik perempuan itu dengan kerlingan mata.
"Hah?" Nuha menelan kekagetannya. Ia akan merasa risih jika membayangkanya.
"Panggil aku, Kang Mas. Jika kita sudah menikah nanti." Senyuman Fathan semakin mereka.
Nuha mungkin akan tersedak jika saat ini ia sedang makan. Beruntung ia hanya melebarkan mata indahnya itu.
Untuk beberapa saat mereka terdiam.
"Kenapa kamu diam?"
Nuha menoleh. Ia memang malu semenjak Fathan memintannya untuk menjadi istrinnya. Dan ia pun mengiyakan. Padahal dulu ... ia sudah memastikan perasaannya pada Fathan hanya sebatas guru dan murid saja. Tapi ... seumpama batu jika ditetesi air bertubi-tubi, tak akan mampu batu itu bertahan utuh. Akan berlubang juga.
Mengingat Fathan yang menghujaninya dengan sejuta perhatian. Tentu gadis mana yang tak akan luluh? Tanpa ia sadari. Kasih sayang Fathan mengisi rongga-rongga hatinnya yang kosong.
"Saya ... hanya. Hanya belum percaya saja."
"Maksudnya?" Fathan menoleh meminta penjelasan gadis itu.
"Saya tidak percaya. Seorang murid bisa melamar saya."
Fathan terkekeh.
"Kenapa tidak? Usia bukan penentu jodoh atau tidaknya manusia. Kita bisa berjodoh dengan siapa pun. Tergantung taqdir yang maha kuasa. Dan saya selalu berharap itu kamu." Fathan tersenyum dengan lebarnya tanpa melihat gadis yang tak jauh dari tempat duduknya.
"Terimakasih. Sudah mencintai saya selama ini." Nuha menatap pohon yang tersaji didepannya lurus-lurus.
"Terima kasih juga sudah menerima saya. Meskipun itu belum pasti orang tua kamu mau menerima saya. Saya akan berusaha jika orang tuamu menentang. Yang pasti tak ada alasan untuk tidak bersamamu."
Nuha tak mampu berkata-kata. Ia tak mampu merangkai kata untuk mewakili perasaannya. Lagi pula ia malu, karena status mereka belum suami istri. Mungkin Fathan sudah biasa mengurai kata-kata dasyat guna menarik hatinya. Tapi seorang Nuha tak mungkin melakukan hal yang sama, kecuali jika status mereka sudah syah dimata Allah.
"Sebaiknya saya pulang. Jangan terlalu lama. Saya tidak perlu diantar. Saya pulang dulu.
"Assalamualaikum." Nuha segera melangkahkan kaki tanpa mendengar sahutan Fathan. Seperti yang sudah-sudah. Nuha tidak suka jika berduaan dengan laki-laki. Meskipun banyak orang berlalu-lalang. Mereka selama dua tahun ini hanya bertemu ketika ada urusan saja. Mungkin bisa dihitung dengan jari. Dan hal itulah yang membuat cinta Fathan pada Nuha berlipat ganda. Bukan karena frekuensi bertemu yang tinggi, tapi cara Nuha memelihara kesucian diri.
Fathan hanya mengiyakan dan menjawab salam. Nuha tak akan mau diantar. Gadis itu sudah membawa sepeda motornya sendiri.
Selama menuju parkiran. Nuha memeganggi jantungnya yang tiba-tiba tak sehat karena mendengar lantunan gombalan Fathan tadi. Ah ... rasanya ia ingin menjerit saja. Mungkinkah itu yang namanya jatuh cinta. Ia harus menyeimbangkan tubuhnya agar tidak jatuh karena nervous.
***
Minggu yang dinanti pun datang. Seperti salah satu hadist mengatakan 'umumkanlah pernikahan, sembunyikanlah peminangan'. Nuha dan Fathan mengadakan lamaran itu secara tertutup. Kedua belak pihak sangat senang jika mereka berdua menikah. Ya. Meskipun umur Nuha lebih tua, tak urung menjadikan kedua keluarga itu untuk tidak memberikan restu. Pernikahan mereka tinggal menunggu beberapa bulan.
"Selamat ya say ... udah mau merid aja. Kakak jadi iri." Hilya yang tak bisa ikut karena pulang terlambat kena delay penerbangan segera memeluk adik kembarnya itu. Fathan membalas pelukannya. Juga mendoakan Hilya agar cepat menyusulnya.
Kopernya sudah menanti di ujung pintu. Fathan disuruhnya untuk mengangkat benda dengan berat sepuluh kilo itu ke kamar. Entah apa yang dibawa gadis itu. Ia libur selama beberapa hari. Fathan pun melipatkan dahinnya.
"Itu kenapa muka ditekuk-tekuk. Pelukan sama calon ibu presiden itu nggak gratis, ya?"
Sambil mengangkat koper. Fathan pun membalas sambil terkikik.
"Gue aminin deh. Tapi gawat juga kalau Indonesia punya Ibu negara kayak Kakak."
Gadis itu berkacak pinggang.
"Emang kenapa? nggak papa dong!"
"Apanya yang nggak papa. Tampang kayak preman kok mau jadi Ibu Presiden." Fathan melenggang pergi. Meninggalkan Kakaknya yang merah padam.
"Ya bagus deh. Biar para koruptor itu pada takut sama Ibu presiden macam kakak." Gadis itu menyusul ke kamar. Tak lupa ia memberikan tip pada Fathan. Adikknya menerimannya dengan senang hati.
Mereka melepas rindu dengan menonton film bersama. Ada film terbaru diangkat dari novel terkenal karya Asma Nadia. Hilya begitu mem-favorit-kan penulis tersohor itu.
Baginnya... novel karya wanita itu bisa turut andil mendidik anak-anak bangsa. Menuntun mereka ke jalan yang benar dengan banyak diselingi ilmu agama didalamnya.
***
"Makasih ya? Udah nolongin gue tadi." Mereka berdua sedang berada di lobi jurusan. Menyandarkan punggung-punggung mereka di beberapa kursi yang tersaji.
"Iya. Untung tadi gue inget dikit-dikit. Makannya kalau dosen lagi njelasin, itu didengerin! Biarpun kita satu kelompok."
"Enggak mau. Gue males. Gue nyesel pilih jurusan ini. Harusnnya gue milih PGTK aja." Arwa menyesali yang ikut-ikutan Andre memilih jurusan yang sama dengan Fathan.
Andre berdecak.
"Udahlah... nggak usah disesali. Allah nyiptain otak gue yang encer ini buat ngelindungin loe. Gue ikhlas lahir batin buat bantuin loe."
"Idih .... So sweet." Ingin Arwa memeluk Andre. Tapi Andre akan marah padanya jika gadis itu melakukannya. Belum muhrim. Dan akan muhrim setelah mereka lulus nanti. Cowok itu akan melamarnya jika mereka sudah meraih gelas sarjana.
"Jangan lupa. Dengerin tausiyah tiap hari. Pertebal iman kalau deket cowok manis kayak gue."
"Hah? Maaf, Pak. Toilet sebelah mana, ya?" Arwa merespon hendak mau muntah.
Kini gantian gadis itu merengut. Tangannya sudah mengepal. Kebiasaan Andre yang suka sekali memuji dirinya sendiri masih belum ia tinggalkan. Meskipun itu hanya cara Andre untuk mencairkan suasana.
Mereka berdua semakin hari semakin memahami sifat masing-masing dan tahu batasan untuk tidak melakukan hal-hal yang dilarang agama jika mereka bertemu. Mereka selalu membawa orang ketiga ketika bertemu. Sampai orang ketiga itu merasa bosan dikacangi. Siapa lagi kalau bukan Hanan. Cowok itu menyibukkan diri untuk kerja, kuliah dan juga menjadi obat nyamuk dalam hubungan Arwa dan Andre. Tak apalah... yang penting, Hanan diberi makan dan ngopi gratis.
Terkadang ia juga teringat Siti. Jika melihat Andre yang tersenyum pada Arwa. Siti. Gadis itu entah pergi kemana. Sejak mereka lulus SMA, tak ada secuilpun kabar tentang gadis itu. Mungkin gadis itu sudah menikah, mengingat cita-citannya dulu yang ingin menjadi ibu rumah tangga yang baik. Ada titik-titik ruang rindu jika mengingat gadis itu.
***
Perbanyaklah dzikir, perbanyaklah beribadah,
Perbanyaklah sedekah. Thanks for reading. 😊
KAMU SEDANG MEMBACA
I Love You Ustadzah (Lengkap Dan Revisi)
RomanceLebihkan cintamu hanya untuknya, bukan pada ciptaanya yang belum tentu adalah taqdirmu ~Nuha~ Cinta itu sederhana, tapi untuk melupakanya tak sesederhana itu 1 in Membaca 5 in Pesantren (Sabtu, 22 Sept...