Fifthy Eight

5.1K 446 36
                                    

Ayah Nuha sampai di rumahnya. Gadis itu segera mencium punggung tangan Ayahnya. Sudah kebiasaan Ayahnya yang tiba-tiba nongol di depan pintu tanpa mau tahu, jika kedua orang yang sangat mencintainya begitu hawatir.

Ayahnya yang sudah lebih dari paruh baya itu segera memeluk istrinya yang sudah bergelimang air mata. Mereka bertiga temu kangen.

Nuha membawa tas ayahnya ke kamar. Ia lalu kembali.

"Ayah makin kurus saja," keluh gadis itu. Gadis itu duduk di depan ayahnya. Terpisah oleh meja. Sedangkan ibunya di samping ayahnya.

"Bagaimana ayah tidak kurus. Ayah memikirkan kalian. Ayah kaget ketika ibumu meminta Ayah untuk pulang. Ada apa?biasanya Ayah pulang malah di marahi."

Kedua ibu dan anak itu saling pandang. Mereka bingung harus memulai dari mana.

"Darah ayah, sering naik turun. Ayah harap. Ayah bisa kerja di Indonesia secepatnya. Supaya tidak jauh dari kalian," Ayahnya menyesap teh yang di hidangkan oleh Nuha. Ayahnya tidak boleh minum kopi.

Ibunya membuka suara.

"Ibu kangen saja Yah. Sudah lama Ayah tidak pulang," dusta Ibu Nuha yang tidak tega membuat suaminya syok.

Ayahnya memeluk ibunya lagi. Beliau tahu. Jauh dari suami pasti membuat istrinya kesepian. Meskipun sudah ada ponsel.

"Untung gaji ayah lumayan besar. Nuha, terima kasih sudah membatu keuangan keluarga kita selama ini. Cicilan rumah kita sebentar lagi akan lunas. Ayah ingin hidup seperti ini dengan kalian. Tanpa terpisah jauh."

Ayahnya bersyukur. Belum genap 15 tahun. Ayahnya sudah hampir melunasi cicilan kredit rumah mereka. Itu semua berkat keras mereka dan juga dengan doa.

Ayahnya meminta mereka berdua untuk makan di luar. Mereka bertiga makan di restoran gudeg Yogya. Restoran favorit mereka. Mereka pergi setelah shalat Isya'.

Nuha dan ibunya lebih memilih untuk tetap merahasiakan masalah itu. Mereka berdua tidak mau jika Bakri Malik, Ayah Nuha syok berat dan akan berpengaruh pada kesehatanya jika tahu anak pertamanya terbunuh. Itu lebih baik bagi mereka.
****

Di sisi lain. Miranda kabur dari rumah. Tapi tidak bisa di sebut kabur. Karena Papa dan Mamanya tahu keberadaan gadis itu. Sebenarnya ia kabur ke rumah neneknya yang berada di desa. Orang tuanya sama sekali tidak perduli meskipun gadis itu pergi. Mereka tetap tidak merasa bersalah.

Di desa. Gadis itu menemukan ketenangan. Nenek dan kakeknya adalah petani kaya raya. Selain punya sawah berhektar-hektar. Mereka juga punya kebun yang luas. Miranda berniat untuk sekolah di sana saja. Jauh dari kota yang menurutnya bising. Ia ingin merubah gaya hidupnya yang tidak sesuai dengan aturan agama. Mungkin sesekali gadis itu akan berkunjung ke kota, untuk mengunjungi kakaknya tapi tidak sudi bertemu orang tuanya.

Sebelum gadis itu pergi. Ia sudah pamit pada Nuha, Fathan, dan juga Hilya. Ia berterima kasih atas semua pelajaran hidup yang ia terima. Nuha mengajarkanya untuk bersikap sabar menghadapi masalah, menerima taqdir Tuhan, meskipun itu pahit.

Fathan mengajarkanya untuk bisa menjaga diri sebagai wanita, tidak boleh sembarang mencium orang yang bukan muhrim. Cowok itu juga mengingatkan Miranda, agar selalu mengerjakan shalat lima waktu dan memakai hijab.

Sedangkan Hilya mengajarkan nya pentingnya menjaga kesehatan tubuh. Hilya meminta gadis itu untuk berhenti minum-minuman beralkohol. Meminta Miranda untuk beralih ke susu UHT. Lebih segar dan sehat kata Hilya.

Miranda dengan berat hati meninggalkan mereka semua. Tapi Miranda juga enggan untuk hidup satu rumah dengan orang tuanya. Ia tidak mau lagi merasa sepi di sana. Di desa pasti banyak sanak saudaranya. Jadi ia tidak perlu lagi pergi guna meramaikan hatinya seperti kebiasaan buruknya yang sering ke Club malam. Ia fix pindah kota dan pindah sekolah.

I Love You Ustadzah (Lengkap Dan Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang