Motor matic warna putih, mengantarkan mereka berdua. Fathan dan Miranda melucur ke rumah Nuha setelah Isya'. Nuha sedang di diamkan oleh ibunya.
Ibunya begitu terpukul dengan kenyataan yang sebenarnya. Beliau tidak ikhlas, anaknya di perlakukan seperti itu. Mana ada? seorang Emak bakal anteng ayem ... mendengar anaknya sudah di bunuh!
Hanya karena mereka tidak kaya. Seenaknya keluarga Miranda tidak bertanggung jawab atas kesalahan anak dari keluarga mereka yang sudah membunuh kakak Nuha. Ibunya menangis di kamar. Beliau masih memakai mukenanya dengan derai air mata. Wanita itu ingin sekali memberitahu suaminya, perihal rahasia pembunuhan anak pertamanya yang terbongkar. Tapi ibu Nuha tidak mau jika ayahnya syok dan berakibat pada kesehatan suaminya. Wanita itu memutuskan untuk meminta ayah Nuha pulang.
Ibunya tidak makan sejak siang tadi. Membuat perempuan itu sedih. Perempuan itu mondar-mandir di depan kamar ibunya. Ia juga tidak berani mengetuk pintu. Di sisi lain juga ia menghawatirkan kesehatan ibunya.
"Iya sebentar." Ada tamu. Nuha pun menuju pintu depan.
Nuha mempersilahkan dua manusia itu duduk. Miranda menunduk.
Miranda mengangkat wajahnya. Gadis itu memakai hijab malam ini. Kedua matanya tampak bengkak.
"Us ... saya minta maaf atas semua perbuatan saya terhadap Us dan keluarga. Saya sangat menyesal telah mencelakai Us." Gadis itu menunduk lagi. Padahal hari ini bukan hari senin yang biasanya upacara.
Nuha terdiam. Ia sudah memaafkan kesalahan keluarga mereka sejak dari dulu ... tapi, tidak dengan ibunya.
"Saya sudah memaafkan kalian. Tapi untuk melupakan. Mungkin saya masih butuh waktu. Begitupun dengan ibu saya, yang baru mendengarnya tadi siang. Ibu saya sangat terpukul saat ini."
Miranda mendekap lutut Nuha. Sontak perempuan itu kaget. Begitupun Fathan. Gadis itu menangis dengan mendekap lutut Nuha.
"Maafin saya Us. Maafin keluarga saya." Miranda menangis sesenggukan.
"Iya Mir. Ustadzah sudah ikhlas. Ini sudah takdir dari yang maha kuasa. Bagaimanapun kami menangis. Kak Indah tidak akan hidup kembali. Ibuku hanya perlu waktu untuk mengobati sakit hatinya."
Nuha dan Miranda menghiasi ruang tamu itu dengan linangan air mata. Ibunya mendengarkan perbincangan mereka dengan menahan tangis. Ibunya juga paham. Meskipun ibunya menangis sampai air matanya habis, tidak akan membuat putrinya hidup kembali.
Nuha meminta gadis itu untuk duduk di sampingnya. Setelah tangis mereka teredam.
"Kakak kamu bagaimana Mir, kondisinya sekarang?" Nuha memang turut prihatin atas gilanya Abriana.
Miranda wajahnya bertambah sedih.
"Kakak saya penyakitnya sudah tidak ada harapan Us, untuk bisa di sembuhkan. Bahkan dia sudah nggak bisa ngenalin aku. Yang dia lakuin cuma diem," terang gadis itu.
Perempuan itu mengambilkan minum untuk Miranda. Supaya gadis itu sedikit baikan. Siapa pun yang melihatnya pun tak tega melihat Miranda saat ini. Tangisnya membuat maskaranya sedikit luntur, meskipun itu waterproof.
Miranda kecewa karena ia tidak bisa meminta maaf langsung pada ibu Nuha. Fathan dan gadis itu pamit undur diri. Karena waktu sudah lumayan malam.
Fathan meninggalkan sapu tangan bertuliskan namanya di meja ruang tamu Nuha, tanpa sepengetahuan Miranda. Nuha pun baru menyadarinya setelah ia kembali masuk kedalam rumah setelah mengantar mereka berdua ke depan.
Nuha mengambil sapu tangan itu, memakainya untuk membuang ingus. Ibunya memanggilnya.
****
Ibunya sedikit cair hatinya. Mungkin itu sudah takdir mereka untuk kehilangan satu putri dari keluarganya. Nuha pun menenangkan ibunya."Maafin Nuha. Nuha sudah membohongi ibu dan ayah selama ini." Nuha menarik nafasnya,"Nuha benar-benar tidak tau harus bagaimana saat itu. Di sisi lain, ini semua adalah kesalahan Nuha. Nuha tidak mendengarkan nasihat Kak Indah. Dan dia menjadi korban. Di sisi lain Nuha juga takut keluarga Abriana membuat ibu dan ayah susah. Maafin Nuha, Bu," gadis itu meringkuk di lutut ibunya.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
I Love You Ustadzah (Lengkap Dan Revisi)
RomansaLebihkan cintamu hanya untuknya, bukan pada ciptaanya yang belum tentu adalah taqdirmu ~Nuha~ Cinta itu sederhana, tapi untuk melupakanya tak sesederhana itu 1 in Membaca 5 in Pesantren (Sabtu, 22 Sept...