Twenty four

5.3K 288 9
                                    

Miranda sedang berada di Melody coffee. Biasa ... ketika di luar sekolah ia tanpa dinaungi balutan kerudung. Rambutnya seperti habis ketumpahan cat, warnanya merah.

Ia memakai setelan kaos Sweater putih dan celana pensil hitam, sneakers menutupi kedua kakinya.

Seorang laki-laki sebaya mendatanginya, duduk di depanya. Laki -laki botak tapi tidak gendut itu membawa beberapa berkas dan menyerahkanya pada Miranda,  lantas mencuri fokusnya untuk membaca seksama berkas-berkas itu. Mimik wajahnya sulit diartikan, terlihat serius.

"Jadi kakakku sekarang di rumah sakit jiwa?!" Miranda tak percaya dengan apa yang di lihatnya. Ia merasa di bohongi selama ini. Sudut kekecewaan terhampar jelas diwajahnya. Ia mulai menitikkan air mata, melihat kenyataan bahwa Kakaknya terdaftar sebagai pasien rumah sakit jiwa.

Ia membanting berkas itu dengan kasar. Kenapa orang tuanya begitu tega membohonginya selama ini yang mengatakan bahwa kakaknya sedang menimba ilmu di luar negeri.

Wajahnya memerah. Air mata itu disekannya beberapa kali tanpa melihat laki-laki yang berada didepannya.

"Apa anda tau? mengapa kakak saya bisa berada di rumah sakit jiwa?" Dengan sedikit sesenggukan dan raut wajah yang jauh dari kata bahagia, ia bertanya.

Laki-laki itu mengangguk, dan mulai membuka suara.

"Sebenarnya saya sangat sulit mendapat informasi ini, karena sepertinya orang tua anda meminta pihak rumah sakit untuk menutupi penyebab kakak anda bisa berada disana. Tapi berkat bantuan teman saya yang kebetulan adalah seorang dokter disana, saya dengan mudah mendapatkanya."

"Saya tidak tanya hal itu pak!" wajah gadis itu jauh dari kata ramah.

"Jadi begini ...." Detektif itu menjelaskan dengan mimik serius dan panjang lebar tentang apa yang terjadi dengan kakaknya Miranda.
Entah itu apa, tapi Author tidak mau menguping, karena itu dosa. Kalau penasaran langsung saja tanya pada Miranda, nomer What's up nya masih tertera di chapter 2 kok.

                       ***

Usai shalat Magrib dan membaca Al-Qur'an, Nuha membaringkan tubuhnya diranjang mengingat kejadian tadi, ia masih kesal dengan ulah Fathan, bagaimana bisa ia memiliki murid yang senakal itu! berani menggodanya?! bahkan melakukan hal yang menurut Nuha tidak bisa di tolelir lagi, apalagi tadi anak itu menyatakan perasaanya pada Nuha, harusnya itu terjadi di sekolah saja, biar Nuha ada alasan untuk menghukumnya.

Handphone Nuha bergetar, tanda ada pesan masuk, tapi tanganya malas untuk menyentuhnya. Mungkin hanya pesan dari grup. Ia mencoba menenggelamkan diri dalam mimpi. Tubuhnya begitu lelah karena ia tadi setelah pulang dari rumah Fathan, ia pergi ke Panti Jompo. Kebiasaanya setiap hari Minggu ia kesana. Nuha donatur tetap di panti itu.

Semenit kemudian, ponselnya bergetar lagi. Karena merasa terganggu, ia mengambil ponsel di dekatnya itu untuk di taruh di atas nakas, tetapi semenit lagi ponsel itu bergetar lagi, dan membuat Nuha ingin menonaktifkan saja ponselnya. Ia pun membuka pesan di aplikasi What's up yang dimilikinya itu. Terpampang jelas, tiga pesan di terima dari nomer tak di kenal.

+62085xxxxxxx

Assalamualaikum, Us. Jangan lupa, besok hari Senin.

Pesan pertama dari nomer tak di kenal itu.

Sisanya hanya emoticon senyum lalu menyusul sebuah emoticon love.

Nuha menatap saksama pesan itu. Manusia konyol mana yang mengirimi pesan  semacam itu, ia juga tau kalau besok hari Senin.

Nuha tak membalas pesan itu. Lalu menekan lama tombol samping kiri ponselnya. Karena merada terganggu Nuha tidak jadi memejamkan matannya. Kakinnya melangkah keluar pintu, lupa kalau belum mengingatkan ibunya untuk meminum susunya, ibunya penderita diabet.

Di kamar tengah tempat ibunya tidur, Nuha melihat ibunya sedang membaca Alqur'an, sejenak ia menunggu ibunya selesai membaca.

"Ya Allah, ampunilah dosa- dosa hamba. Dosa suami serta anak-anak hamba yang telah lalu ataupun yang sudah-sudah, terutama anak pertama hamba yang engkau ambil lebih dahulu ya Allah, lapangkanlah kuburnya, ampuni dosa-dosannya. Dan tenangkanlah hati hamba ini ya Allah, engkaulah sebaik-baik tempat mengadu. Jadikannya kami golongan yang engkai ridhoi, jadikannlah kami golongan orang-orang yang selalu bersyukur atas segala nikmat yang engkau beri." Nuha mendengar ibunya berdoa dan terisak, ia semakin sedih dan semakin merasa bersalah. Tak sengaja, rintik kecil dimatannya menetes.

Gadis itu tak mungkin akan menimbun rahasia itu selamanya, entah kapan ia akan mengungkapkanya. Tapi tidak sekarang. Ia belum siap menerima kesedihan orang tuanya lebih dalam lagi, dan ia yakin orang tuanya akan sulit untuk memaafkanya nanti, entah itu keyakinan darimana.
     
                      ***

Arwa mengendap-endap membuka pagar rumahnya, lalu mengeluarkan sepeda motornya, tapi tidak menyalakan motornya, ia menuntunya sambil melihat-lihat rumah tetangga yang super menyebalkan itu. Siapa lagi kalau bukan Andre. Dngan yakin pasti Andre akan menjitaknya hari ini jika sampai bertemu denganya. Padahal nanti di kelas juga pasti bertemu. Entahlah ... ia suka sekali melakukan hal unfaedah seperti sekarang ini. Tanpa melihat jalan ia masih memastikan kalau Andre tak akan berangkat sepagi ini dengan melihat jendela kamar Andre, tapi harapan tak sesuai rencana, seseorang menjitaknya tanpa permisi.

"Aduh!" teriaknya lalu menoleh ke kiri, ia terkejut melihat Andre sudah berdiri di depan pagar rumahnya.

"Loe ngapain ngliat-ngliat kamar gue kayak gitu, loe kangen ya sama gue? iya kan ... ngaku!"

"Ogah! Gue masih waras!" teriaknya merusak gendang telinga Andre.

Andre menutup telinganya,

"Nggak usah pakek otot kali! Kuping masih normal! kalo nggak kangen ngapain loe liat liat kamar gue? loe nggak bisa jawab, kan?, udah jujur aja. Gue udah biasa kok dikangenin." ucap Andre tersenyum lebar dengan PD-nya. Bibir tipisnya menambah manis senyumanya. Pemicu jantung gadis itu meloncat-loncat cepat. Sambil menahan nafas ia membalas.

"Tingkat ke GR an loe makin tinggi aja ya, mubazir gue ngomong sama loe, gue berangkat!" Gadis itu menyalakan sepeda motornya dan meninggalkan Andre yang sebenarnya ingin nebeng tapi nggak jadi, ia meneriaki Arwa yang belum begitu jauh.

"Makasih kadonya! kado paling bersejarah yang pernah gue terima!" teriaknya.

Arwa tak menoleh, hanya tersenyum mendengarnya. Berasa bunga sakura bertebaran dimana-mana. Apa ia sedang syuting iklan sabun Shinzui?

                        ***

Seperti hari-hari biasanya, Nuha kini sedang berada di kelas IPA. Ia sedang menerangkan. Pandangannya menyapu seisi kelas, ia melihat Fathan tidur dibangkunya. Tidak biasanya cowok itu tidak memperhatikannya di kelas.

"Hanan, tolong kamu bangunkan Fathan!" perintah Nuha. Hanan tahu jika sahabatnya itu sakit.

"Sudah Ustadzah, tapi Fathan kayaknya sedang sakit, deh. Badanya panas," balasnya.

Nuha mendekati murid bandelnya itu.

"Kamu antarkan Fathan ke UKS saja, ya? kalau memang dia sedang sakit," titahnya pada Hanan.

Tetapi tetap saja Fathan tidak bangun dari tidurnya, membuat Hanan kesulitan untuk membawanya.

"Fathan ... bangun, Nak!" ucap Nuha membangunkanya.

Tapi tetap saja tidak di gubris oleh Fathan.

"Kalau kamu tidak bangun, Ustadzah akan meminta bantuan Ustadz Ilyas, biar kamu dibawa beliau ke UKS," ujar Nuha lembut.

Fathan yang mendengar itu, merasa jijik membayangkan Ustadz Ilyas menggendongnya bak pengantin baru, ia tak mau sampai di perlakukan seperti itu. Ia pun bangkit, lalu beranjak pergi di temani Hanan.

Nuha hanya menggelengkan kepalanya, tak mengerti dengan tingkah Fathan. Ia tahu, pasti anak itu sakit karena kemarin tercebur kedalam danau, dan anak itu tidak mengganti bajunya hingga Nuha mendapatkan bis. Lagi-lagi Nuha merasa bersalah.

                       ***

I Love You Ustadzah (Lengkap Dan Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang