Sixteen

6.4K 343 2
                                    

Semesta telah menampakkan sinarnya. Ayam berkokok menandakan pagi telah tiba. Adzan shubuh pun telah berkumandang setengah jam yang lalu. Fathan membuka matanya perlahan. Ia mencari sesuatu yang membuat bahunya terasa berat. Kepala Hanan bertengger dengan mesranya di sana. Air liurnya tak bisa ditampik, ujung baju Fathan basah. Disingkirkannya Hanan jauh darinya.

"Nan, Subhuhan," ditepuknya pipi pemuda itu sedikit keras. Bukanya bangun, malah menggeliat, memeluknya erat.

"Ya Allah nih, Anak! dipikir gue ini guling apa,", ucapnya yang masih setengah sadar.

"Coba kalo loe jadi anaknya Pak Rahmat, Han. Udah basah loe sekarang, disiram air keran."

Ngomong-ngomong, Rahmat itu ayahnya Fathan.

Fathan mendorong Hanan jauh-jauh. Ia beranjak ke kamar mandi untuk mensterilkan dirinya dari air liur tadi dan berwudhu.

Direntangkannya tangan dan menguap lebar lebar. Tak sadar kalau ada perempuan cantik duduk manis di depanya, sedang melihatnya. Fathan terperanjat sekaligus malu, lalu cepat menutup mulutnya rapat-rapat, terlihat Nuha tersenyum padanya.

"Eh, Us. Mau ambil air wudlu?" ucapnya seraya menggaruk telinga, menutupi rasa malu.

"Iya. Jama'ah lagi ya?"

Fathan mengangguk.

"Sebentar, saya ambilkan baju sama handuk buat Us mandi."

Fathan ke kamar seraya membangunkan Hanan kembali. Mereka salat berjama'ah.

"Besok, ya. Saya balikin bajunya. Maaf sekali, jadi bikin repot kalian."

"Ah, santai Us. Kak Hana juga nggak bakal keberatan kok. Bajunya banyak di lemari. Santai saja."

Perempuan itu akhirnya bisa pulang ke rumah, disambut sang Ibu di depan rumah.

"Kamu kok nggak hati-hati sih. Kalo makan itu diliat dulu, ada makanan yang membahayakan, nggak! tadi malam Fathan yang ngabarin, Ibu."

"Coba kalo kamu nggak ditolong sama Cah bagus ini, gimana sama nasib kamu. Ibu semalaman ndak tidur. Sampai Ferdy tak suruh nyari kamu. Sayangnya anak itu juga sedang di luar kota. Hp kenapa kamu matiin, sih, Nak!"

"Maaf. Malika minta maaf. Malika ceroboh. Lain kali hati-hati kok, Buk. Hp Nuha lobet kemarin."

Fathan yang menyaksikan pertengkaran kecil itu lebih memilih diam. Ferdy itu siapa, sih. Batinnya. Sudah dua kali nama laki-laki itu kembali disebut.

"Yuk, masuk, Than."

Senyum tercurah, ia pun ikut masuk.

Fathan melirik lagi foto Nuha yang memakai seragam karate. Potret itu benar-benar mengingatkannya sesuatu.

"Kayak pernah liat," batinnya.

"Liat apa, Than. Jangan aneh-aneh kayak kemarin loh, ya." Nuha menyindirnya.

"Tapi sudah Us maafin, kan?" tanyanya ragu.

"Jangan diulangi lagi."

"Hehehe, iya Us. Nggak bakal terulang, kok."

Hening menjeda, lagi, Fathan tertarik kembali memperhatikan potret Nuha.

"Itu foto diambil waktu saya masih SMA."

"Nggak ada bedannya ya, Us."

"Masak, sih," sahutnya tak percaya.

"Beneran, Us. Tetep cantik. Tapi cantikan sekarang, sih. Pakai hijab."

"Bisa saja kamu, Than."

"Hehehe. Ngomong-ngomong, kenapa Us punya pikiran untuk mondok. Jarang saya menemui lulusan SMA yang mau mondok apalagi sambil kuliah. Apa Us motivasinya. Saya sendiri belum mampu untuk disuruh belajar terpisah dari orang tua."

Perbincangan mereka terpotong, Meyda datang membawa minuman dan sepiring pancake durian.

"Diminum, Nak. Ini Tante tadi bikinin pancake. Coba deh kamu makan, enak nggak?"

"Waduh, Tante kok repot-repot."

Diambilnya roti itu sepotong.

"Sudah pasti enak ini Tan."

"Kamu coba dulu, Than. Soalnya ini pertama kali Tante buat. Hehehe."

Nuha sudah mencicipinya satu.

"Ini sih, bantat, Bun."

Fathan pun mengatakan hal serupa.

"Tuh, kan. Padahal Tante udah ati-ati bikinnya. Kok bisa bantat, ya?"

"Tadi udah dikasih baking soda nggak, Tan? Ini kayaknya Tante kelupaan."

"Astaghfirullah.... Tante lupa."

"Soalnya dulu Fathan dua kali baru berhasil Tan, eh ternyata penyebab bantetnya belum dikasih baking soda."

"Loh, kamu juga suka bikin kue, Than?" Meyda bertanya.

"Lumayan, Tan."

"Kamu bisa bikin kue apa aja?" Meyda semakin penasaran.

"Em... Paling kue kukus, pancake, donat, bronis, blackforest, itu aja sih, Tan. Baru mau belajar bikin lemper."

"Ya Allah. Itu sih, bukan paling lagi Than. Tante saja bisanya nggak sebanyak itu. Tante kalah ternyata sama kamu. Udah ganteng pinter bikin kue lagi."

"Hehehe, biasa saja Tan. Fathan belajarnya juga dari internet kok. Iseng-iseng nyoba."

Nuha yang tak tahu menahu mengenai pembuatan roti jadi ternganga dengan ucapan muridnya. Kok dia bisa sih, inget bahan-bahan bikin roti. Ini cowok loh!

"Fathan juga pinter bikin bubur Ayam, Buk. Ngalahin bikinan bubur ayamnya Pak Haji depan komplek."

Dicubitnya pipi Fathan, Meyda gemas dengan kemampuan anak muda seperti Fathan. Anak perempuannya saja tidak secanggih itu.

"Ye... Ngapain jauh-jauh Bubur Pak Haji. Bubur gosong kamu saja kalah, Ka sama Fathan."

Mereka berbincang-bincang hingga sinar Matahari mulai memanas. Fathan diantarkannya diambang pintu.

Motor metic itu dinyalakannya. Tapi sebelum pergi, perempuan itu ingin menjawab pertanyaan muridnya tadi.
"Tadi, mengenai pertanyaan kamu."

"Iya, Us."

"Awalnya sih  kesana untuk menenangkan diri. Saya juga merasa sangat kurang dengan ilmu agama yang saya punya. Dan setelah  bertahun-tahun di sana, saya menemukan kedamaian, banyak pengalaman yang membuat mata saya terbuka. Islam indah dan menenangkan. Saya menyesal tidak mempelajari din kita sejak dulu. Saya harap kamu juga nanti bisa mengikuti jejak saja untuk memilih mondok, Than. Memperkuat keimanan."

"Insyaallah, Us."

I Love You Ustadzah (Lengkap Dan Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang