Thirty Two

4.3K 356 8
                                    

Benar saja. Yang di hadapannya kini adalah sekolah yang sudah lama tutup. Nuha memarkirkan sepeda motornya dengan asal.

Perempuan itu memandangi pintu gerbang yang dulu ia dan kakaknya sering melewatinya. Di balik pintu gerbang besi itu sudah banyak semak belukar menyapanya, berkata seakan mereka betah bergelayut tinggi di atap-atap sekolah itu. Ia menatap nanar halaman sekolah itu. 

Dengan berat hati, ia melangkahkan kakinya untuk masuk kembali kedalam sekolah, dimana dulu ia sama sekali tidak mendapakatkan keadilan. Kakinya terasa berat, hendak melewati gerbang itu, mengingat kakaknya yang telah meninggal di sana.

Perempuan itu dengan lihai melompati gerbang itu tanpa terluka sedikitpun. Tidak sia-sia ia dulu iku Taekwondo bersama kakaknya ketika masih SMA dan tidak menuruti nasihat ibu nya untuk ikut ektrakulikuler Tata Busana. 

Nuha melihat koridor sekolah yang memang sepi karena sudah tak berpenghuni. Ia kemudian berlari cepat menuju lapangan belakang sekolah.

Sekolah itu memiliki beberapa gedung yang terbagi menjadi beberapa gedung khusus ruang kelas. Satu gedung khusus ruang guru. Satu gedung khusus extrakulikuler, dan satu gedung auditorium yang biasa untuk acara-acara khusus.

Sekolahan ini juga memiliki dua lapangan dan satu gudang. Lapangan sepak bola dan kasti berada di tengah-tengah gedung ruang kelas dan gedung ruang guru. Sedangkan lapangan basket berada di ujung paling belakang sekolahan ini.

Lapangan basket ini sepertinya sudah mirip seperti tempat penggembalaan kambing. Nuha sesekali kakinya terjerat semak-semak yang menjalar memenuhi lorong jalan menuju lapangan basket belakang sekolah itu.

Tak jarang ia melihat rumput ilalang yang tingginya menyamai lututnya, juga tai kambing yang sepertinya ada peternak yang menyusup kesana, mencarikan makanan untuk ternaknya. Untung ia dengan sigap mengangkat jubah elegannya sembari melompat-lompat kecil agar tak menginjak kotoran berwarna hijau itu. Yang baunya juga masyaallah itu. Perempuan itu sedikit tak percaya, sekolah yang dulunya tempatnya ia belajar, kini menjadi sarang kotoran kambing.

Setelah sekian lama ia melompat kesana kemari menghindari tai kambing warna hijau kehitaman itu. Dirinya segera mencari gudang yang berada tak jauh dari mantan lapangan basket itu.

Satu menit kemudian ia sudah berada di sana. Di depan gedung tua yang tak terkunci. Ia memberanikan diri untuk membuka gudang itu, tangan nya sudah setengah membukanya. Kepalanya sudah mengintip sedikit apa yang ada di dalamya.

Nuha segera berlari tatkala melihat kobaran api mengelilingi seorang gadis yang masih tak sadarkan diri yang ia sangat mengenalnya.

"Masyaallah Arwa!" teriak Nuha bingung harus berbuat apa. Tak ada air di sana. Ia gugup dan tau harus berbuat apa. Peluhnya menetes tanpa kompromi.

Nuha harus menyelamatkan muridnya.
kobaran api itu semakin berkobar, membuatnya was-was.

Perempuan cantik itu melihat Arwa yang masih saja diam tak bergerak. Kobaran api itu satu-satunya penerangan disana. Di dalam gudang itu banyak tumpukan barang barang bekas dan terasa pengap bagi mereka, untungnya  letak barang - barang bekas itu berada jauh dari kobaran api, dan Arwa beruntung, Ustadzahnya itu datang tepat waktu.

Ahirnya Nuha melompati kobaran api itu, membuka ikatan kain di tangan Arwa dan juga kain yang membekap mulut gadis itu. Ia lalu berusaha membangunkannya.

"Arwa! bangun nak!" Nuha menepuk nepuk lembut pipi gadis itu. Tetapi tepukan tangan nya tak berpengaruh. Akhirnya ia menepuk pipi gadis itu sedikit keras, dan Arwa pun terbangun dan terbeliak kaget. Melihat siapa yang ada di depannya sekaligus melihat kobaran api yang berada di sekelilingnya, ia berteriak histeris.

"Ustdadzah!kita dimana?" tanyanya dengan wajah yang terlihat sangat syok. Gadis itu amat sangat ketakutan. Nuha pun memeluknya.

"Tenang Wa. Ustadzah akan bawa kamu pergi. Tenanglah." Nuha menenangkan gadis itu menangis yang tiba-tiba sesenggukan.

"Ayo kita pergi dari sini!" ajak Nuha sembari menggandeng gadis itu, lalu mereka melompati kobaran api itu dan berlari menuju pintu keluar gudang.

Sayangnya setelah Nuha menarik gagang pintu itu ... pintunya terkunci dari luar. Ada yang sengaja menguncinya. Kobaran api semakin tinggi. Asapnya menusuk hidung dua orang penghuni gedung tua itu.

Arwa semakin panik. Ia masih setia menangis, dan membuat Nuha semakin frustasi. Mereka beringsut duduk di bawah pintu gudang itu. Nuha berdoa dalam hati. Ia yakin Allah tak pernah tidur, Allah pasti menolongnya. Ia berpikir keras mencari sesuatu yang bisa membuka pintu gudang itu.

"Tenang Wa. Kita pasti selamat. Allah pasti selametin kita. Kamu yang tenang." Nuha menghembuskan nafas sejenak lalu mengambil ponselnya dan melihat sinyal yang tak ada sama sekali.

Sinyal ponselnya tak ada sama sekali. Nuha tahu kalau gudang di sana susah sinyal sejak dulu, dan ia semakin frustasi tatkala kobaran api itu belum juga padam.

"Arwa. Ayo kita padamkan dulu apinya. Kita cari sesuatu," perintah Nuha pada murid cengengnya itu.

Nuha menemukan kain seragam bekas di salah satu ruang gudang itu, ia dan gadis itu berusaha memadamkan api itu dengan memukul-mukul api itu dengan kain-kain seragam itu. Apinya sedikit demi sedikit mulai padam dan menyisakan asap pekat yang membuat mereka batuk-batuk.

Mereka kemudian berlari dan duduk kembali di pintu gudang kembali, bernafas lega api itu bisa padam, mereka tampak kucal sekali.

"Us. Kita harus gimana sekarang ... Arwa nggak mau mati di sini." Gadis itu mengusap peluhnya. "Arwa belum nikah. Arwa belum jadi dokter," tutur Arwa dan mulai menangis lagi.

Nuha melihat muridnya itu dengan kesal.

"Arwa. Kamu nggak boleh ngomong seperti itu. Kamu harusnya bersyukur. Apinya sudah padam, dan kita tinggal nyari solusi supaya bisa keluar dari sini," Nuha kemudian menepuk pundak miridnya itu.

"Kamu sabar dulu. Semuanya akan baik-baik saja." Nuha menenangkan.

Arwa menghempuskan nafas beratnya lagi. Berusaha untuk tidak menangis lagi.

"Kamu ceritain ke Us. Kenapa kamu sampai bisa ada di sini?" tanya Nuha pada Arwa.

Gadis itu menerawang, ia melihat lurus ke depan.

"Tadi pagi, Arwa naik motor berangkat ke sekolah. Tapi di tengah jalan ada yang nabrak Arwa. Arwa juga nggak tau kok Arwa bisa ada di sini. Arwa nggak inget apa-apa setelah motor Arwa di tabrak tadi pagi," jelas Arwa yang masih sesenggukan.

"Astagfirullahaladziim. Kamu tau siapa yang nabrak kamu?"Nuha terkejut mendengar penuturan Arwa.

"Saya nggak inget Us. Kayaknya saya udah nggak sadar. Udah disini aja."

"Beruntung, kamu sekarang selamat Wa" ucap Nuha bersyukur.

"Alhamdulillah Us. Meskipun kita masih terkurung disini," gadis itu menyebik.

Nuha juga tampak berpikir.

"Ustadzah heran. Untuk apa mereka nyulik kamu," ucap Nuha terpekur.

"Arwa juga bingung nih, Us. Ngapain mereka nyulik Arwa. Arwa nggak tau kalau nggak Us selametin. Pasti sekarang Arwa udah jadi roti goreng hiks-hiks," Arwa kembali menangis lalu memeluk Nuha. Memang dia hobi nangis.

Banyak hal yang di pikirkan Nuha saat ini. Tentang siapa penculik itu, dan apa alasanya sampai menculik Arwa. Orang yang di hubungi penculik itu juga dirinya, bukan orangtua Arwa. Ia berpikir, pasti itu ada hubungannya dengan dirinya. Pasti penculik itu mengenalnya.

Entahlah. Baginya saat ini Arwa sudah selamat saja ia sudah senang. Yang harus ia pikirkan saat ini adalah ia harus menemukan jalan untuk keluar dari gudang tua itu.
****

Komen dong.... Biar author nya semangat buat lanjut di next chapternya😊.

Ngarep berat ....

I Love You Ustadzah (Lengkap Dan Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang