[I] Awal

286 10 3
                                    

>>>

Semua yang kita miliki hanya sementara,
jadi jika ada sesuatu yang hilang lebih baik ikhlaskan.

>>>

Pengumuman.

"Diberitahukan kepada seluruh siswa-siswi SMA Kenanga untuk berkumpul di Aula sekarang. Karena akan ada pengumuman penting. Sekian dan terimakasih."

***

"Eh, lo mau ikutan gak?"
Setiap siswa menanyakan hal yang sama.

Setelah bubar dari Aula suasana sekolah menjadi ramai. Termasuk kelas Sindy sekarang. Tapi dia tidak benar-benar mendengarkan pengumuman tadi. Sindy sibuk mencari seseorang. Dan sekarang dia hanya bisa mendengarkan ocehan teman-temannya.

"Ca, lo ikutan aja gih! lo kan pinter." bujuk Dyra sambil tersenyum.

Acca menggeleng pelan, "Gak ahh, gak tertarik."

"Iyaaa, lagian Acca itu pinter bukan cerdas. Kan acaranya Cerdas Cermat, bukan Pinter Cermat." Candy menyanggah sambil memainkan ponselnya dan memakan camilan ringan.

"Candyyy!!!" teriak Dyra dan Acca bersamaan.

Candy tidak polos atau lemot, cuma dia emang sering menjaili Acca. Jelas karena Acca menjadi teman pertamanya saat masuk sekolah, sekaligus teman satu bangkunya sekarang. Sedangkan, Sindy satu bangku dengan Dyra tepat dibelakang Candy dan Acca.

"Hhe.. Iya iya, maaf." pinta Candy.

Sindy diam, dan hanya menjadi pendengar yang baik sedari tadi. Sudah tiga bulan lebih satu hari sejak dia menginjakkan kakinya di sekolah ini, tetapi Sindy belum juga menemukan cowok itu. Sindy benar-benar berhutang budi padanya.

***

#Flashback on

"SMP Jingga"

Jum'at, 06.05 AM
Ujian Akhir Sekolah

Kriiinggg...
"Sindy.. Ada yang menemukan orangtua mu. Cepat ke Rumah Sakit Cahaya sekarang!"

Setelah mendapat telepon dari Aini -bibinya-, Sindy langsung berlari dan memberhentikan setiap taksi yang lewat. Dia benar-benar bahagia.

Sindy tidak peduli dengan ujian sekolahnya.
Dia lebih memilih menemui orangtuanya sekarang, itu yang terpenting. Lagi pula setiap ada ujian dia tidak menjawab soal dengan benar.
Bukan karena tidak tahu, semenjak kehilangan orangtuanya dia jadi seseorang yang cuek dan acuh.
Bahkan jika Sindy mau, dia bisa menjadi juara umum karna kecerdasannya.

"Sindy kamu sudah datang?" tanya Aini sambil menahan isak tangisnya.
Sindy terdiam, dia melihat papanya terbaring di hadapannya. Air matanya menetes. Dia melihat sekelilingnya.

"Mama mana, Bi?"

Aini diam. Dia tidak tahu harus berkata apa, yang dilakukannya hanya menangis.
Sindy mengerti kenapa bibinya seperti itu. Sindy berlari keluar ruangan dan mendudukkan dirinya di kursi panjang dekat taman. Tangisnya pecah. Dia benar-benar kehilangan orang yang dia sayang.

"Ma, mama pernah bilang, jika Arin kehilangan sesuatu Arin harus mengikhlaskannya. Apa sekarang Arin harus mengikhlaskan mama pergi?" Sindy bermonolog dengan dirinya sendiri sambil mengusap air matanya.

SINARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang