[XXIV] Penebar Kebencian

93 3 0
                                    

>>>

Sebuah kebenaran tidak pernah berarti bagi para pembenci.

>>>

Jam pelajaran pertama akan berlangsung sebentar lagi, Pak Bagas sudah keluar dari ruang BK satu menit yang lalu meninggalkan Sindy dan Siska yang masih duduk dan saling mendiami satu sama lain. Sampai akhirnya salah satu dari mereka berdiri lalu beranjak pergi.

Siska mempercepat langkahnya, tapi percuma Sindy lebih dulu menghadang jalan Siska tepat di koridor kelas 11 IPA 1 yang lumayan sepi. Siska meluruskan pandangan, sekarang cewek itu secara terang-terangan menatap Sindy dengan tajam.

"Kenapa lagi?"

Sindy membalasnya dengan senyuman kecil. Dia sedang meneliti ekspresi wajah Siska, seperti ada yang disembunyikannya.
"Lo diancam?"

Siska membulatkan matanya, ekspresi terkejutnya kentara sekali. Jadi, tanpa dijawab pun Sindy sudah tahu jawabannya.

"Lo diancam sama Yurina kan?" ulang Sindy, dia ingin mendengar jawaban pasti dari Siska.

"Jangan nuduh orang lain tanpa bukti, udah jelas-jelas lo yang nyuri dompet gue." dengan gemetar Siska masih bisa menjawab.

"Gue bakal nyari bukti itu sampai dapet. Jadi, sebelum gue punya bukti, mendingan lo ngaku sekarang dan minta maaf sama gue." setelah berpikir ribuan kali, Sindy sangat yakin seratus persen bahwa Yurina masih menyimpan dendam karena kejadian di kafe waktu itu. Tapi kenapa Yurina membalas dendam kepada Sindy melalui Siska?
Siska tidak ada hubungannya dengan ini semua.

Siska diam, cewek itu mengalihkan pandangannya ke sembarang arah sambil meremas roknya karena gugup.

"Kenapa diem? Lo takut?" Sindy mendengus kasar.
"Cewek pendiem kaya lo emang harusnya diem sampai akhir. Sekalinya buka mulut malah ngancurin hidup orang lain."

Jika sedang marah Sindy memang sering mengucapkan apapun yang ada di kepalanya tanpa pikir panjang.

Setelah mengatakan itu Sindy berbalik berniat menjauh, dia tidak ingin berdebat saat ini. Namun, Siska menghentikan langkahnya dan berkata dengan lantang, "Sindy! Lo jahat!"

Sindy berbalik lalu menatap Siska dengan alis bertaut, sebelum dia menjawab Siska berucap kembali, "Gue pikir lo bakal ngerti kenapa gue ngelakuin itu."

Sindy diam, dia membiarkan Siska berucap sesukanya.
"Ternyata lo gak sebaik yang gue kira. Bukannya sekarang lo yang harusnya minta maaf? Kata-kata lo tadi gak bisa gue terima."

"Siska, gue tau lo itu orangnya kaya gimana. Jadi, kalo lo emang takut sama Yurina biar gue sendiri yang urus semuanya. Lo harusnya gak usah ikut campur dari awal." Sindy menekan kalimat terakhirnya.
Dadanya tiba-tiba sesak.

Sindy tau kata-katanya terlalu kasar, tapi dia hanya manusia biasa yang terkadang mempunyai emosi yang kapan saja bisa meledak. Mungkin, sebentar lagi dia akan menyesal karena mengucapkan itu semua.

Tidak ada yang tahu kalau sekarang Sindy sedang menahan air bening dipelupuk matanya agar tidak terjatuh.

Tiba-tiba Sindy dan Siska menjadi pusat perhatian siswa dan siswi yang lewat, bisik-bisik mulai terdengar di setiap penjuru kelas. Sindy termangu ditempatnya, dia tidak suka menjadi pusat perhatian. Tanpa pikir panjang Sindy langsung meninggalkan tempat kejadian. Meninggalkan Siska yang mulai dikerumuni banyak orang.
Suasana seperti ini terlihat seperti, Sindy adalah seorang penjahat yang sebenarnya.

Sepanjang perjalanan menuju kelas semua mata tertuju kepada Sindy, dia mencoba untuk tidak peduli. Namun, nyatanya itu mengganggu pikirannya. Tatapan semua orang membuat dia ingin menghilang dari dunia ini.

SINARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang