Untuk Adriel & Nediva: Satu Tahun

908 134 42
                                    

Senin, 6 April 2015

Adriel tersenyum kecil ketika mendapati perempuan bersurai panjang yang digelung asal menggunakan jepitan berwarna biru dongker melambaikan tangan padanya. Melihat seseorang yang tengah menunggunya, Nediva berlari kecil ke arah laki-laki yang menyunggingkan senyum.

"Udah dibilang gak usah jemput, Adriel," protes Nediva ketika Adriel mengambil kardus cukup besar yang ada di tangan kanan Nediva.

"Ongkos Soetta - Tomang lumayan, Div. Bisa buat makan nasi Tante Ani sampe bego." Celotehan Adriel sukses membuat Nediva tertawa.

"Kan tetep aja, Yel. Lo juga jauh dari Tomang," ucap Nediva ketika baru saja menutup pintu mobil dan memasang sabuk pengaman.

"Kan gak ada kelas, gue juga dari Serpong."

"Eh iya ya, kemarin kan kampus libur dari Jumat, kalian ke mana aja?"

"Pada ngebo, maklum tepar semua habis UTS."

Nediva hanya menggelengkan kepala sambil tertawa.

"Gimana Popo* lo, Div?"

"Belum lama ini telapak kaki Popo gue diamputasi karena emang gak bisa ketolong. Pas gue pulang kemarin, lukanya belum kering-kering soalnya ada diabetes basah. Walau agak-agak gak sadar, Popo gue bilang seneng banget anak sama cucunya pada pulang."

Nediva pulang ke kampung halamannya di Sungailiat. Untung saja hari Jumat angkatan 2014 tidak ada jadwal UTS dan hari Sabtu merupakan tanggal merah. Jadi saat hari Jumat kemarin Nediva langsung membereskan tas, mengisi beberapa pakaian seadanya ketika mendengar berita sang nenek benar-benar drop. Terbentur jadwal kampus, mau tidak mau Nediva harus kembali hari Senin ini. Itu pun karena Senin dia tidak ada kelas.

"Kita berdoa yang terbaik buat Popo lo, Div."

"Makasih, Yel."

Ketika mereka baru saja keluar dari daerah Soetta dan hendak masuk tol Jakarta, terdengar bunyi dari ponsel Adriel, menandakan jika ada seseorang yang meneleponnya. Adriel menggeser layar ponselnya kemudian menekan tombol loud speaker. Adriel harus tahu diri untuk tidak menempelkan ponsel di telinganya sambil mengemudi karena ia sedang bersama orang lain.

"Halo, Ma?"

"Itu laptop kamu enggak mau dibawa? Sama ini nih, kertas yang ada logo kampus kamu."

"Oh iya, Ma! Duh kok bisa lupa sih."

"Gini nih, pasti gak kamu gak Ino kalau lupa selalu ganti-gantian. Tar Iyel yang lupa, minggu depan pasti Ino yang lupa. Kalian kalau kepala gak nyangkut di leher juga pasti lupa."

"Ya Mama, leher kalau misah sama kepala mah udah lewat orangnya."

Tanpa sadar Nediva tertawa mendengar pembicaran ibu dan anak yang terdengar menggemaskan.

"Mama simpen ya kertasnya, jangan dibuang."

"Udah Mama buang ke tong sampah. Sana ati-ati bawa mobilnya."

Sambungan terputus, tapi Nediva masih saja tertawa mendengar percakapan Adriel dengan Mamanya.

"Div, lo gak apa ikut gue?"

Adriel mau tidak mau harus kembali ke rumah karena kertas dengan logo kampus yang dimaksud sang Mama adalah kertas resume seminar. Adriel tidak punya copy-an data resume karena semua di laptop, terlebih lagi besok batas terakhir mengumpulkan resume. Jika tidak mengumpulkan resume, hangus sudah sertifikat Adriel dan uang enam puluh ribu untuk membayar seminarnya.

"Gak apa kok, mau kenal sama Mama lo yang sabar banget punya anak kembar kaya kalian," canda Nediva.

"Atau gue bayarin aja deh lo naik taksi."

KaharsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang