Dari Everina: Sama Rasa

308 44 32
                                    

Jumat, 12 Agustus 2016

Dua tahun setelah kehilangan Papa dan gue sudah sedikit lebih terbiasa dengan keadaan yang ada, Dion datang. Memulai hubungan dengannya untuk lebih dari sekadar teman.

Gue dan Dion beda tiga tahun, dia juga dekat dengan Kak Tara. Gue dan Dion udah kenal sejak lama sebenarnya, kita satu gereja sejak kecil. Jadi waktu keluarga gue masih di Serpong, gue dan Kak Tara akan selalu bertemu dengan Dion saat sekolah minggu.

Enggak jarang, orang-orang selalu tanya ke Dion, "Yon, lo enggak cemburu?"

Cemburu sama Vino dan Adriel maksudnya.

Jawabannya enggak. Padahal biasanya, kebanyakan cowok enggak suka ceweknya deket sama cowok lain, tapi Dion enggak gitu.

"Kamu lebih dulu kenal Vino sama Adriel dibanding aku. Toh mereka juga enggak pernah lakuin hal aneh, kenapa harus cemburu?"

Setiap gue tanya dan meminta Dion menjawab jujur, dia akan selalu jawab begitu. Ah, mungkin juga Vino sama Adriel punya boundaries ketika gue pacaran sama Dion? Intinya Dion enggak pernah marah atau cemburu sama Vino dan Adriel.

Adanya, kita berempat malah sering mengadakan donasi di beberapa panti asuhan. Ketika gue pindah ke rumah cewek, pasukan yang ikut charity malah makin banyak. Biasanya Diva, Julian, Kella, dan Ardhan juga akan ikut Dion ketika mengadakan charity.

Walau pernah pergi bareng sama Dion cuma dua kali, gue ngerasa anak-anak jadi deket banget sama Dion. Mungkin karena Dion ramah banget, jadi anak-anak pun ngerasa enggak sungkan sama dia.

Gue dan Dion benar-benar baik-baik aja. Pacaran sama Dion dari gue masih SMA sampai gue masuk semester tiga waktu itu, semuanya berjalan baik. Semuanya terlihat terlalu baik sehingga kadang membuat gue berpikir kalau sebenarnya hubungan gue dan Dion enggak baik-baik aja.

Saat gue harus menghadapi realita tentang takut kehilangan lagi, gue jadi berpikir setiap saat.

Gue dan Dion jarang berantem, hah, malah pernah gak, ya? Ya itu, berantem sama Dion pertama dan terakhir kalinya adalah ketika gue memutuskan untuk berhenti, kemudian Dion juga menyetujuinya.

Gue dan Dion sama-sama terbiasa saling mengalah. Terbiasa untuk bilang enggak apa kemudian mengikuti kemauan satu sama lain. Ketika gue mengatakan sesuatu yang sebenarnya kurang disukai Dion, dia memilih mengalah dan mengikuti kemauan gue. Begitu juga ketika Dion mengatakan sesuatu yang sebenarnya gue sendiri merasa enggak suka, gue malah memilih tidak protes.

Selalu kaya gitu sehingga akhirnya gue sadar bahwa sebenarnya hubungan gue dan Dion jauh dari kata baik-baik aja. Kita malah enggak pernah jujur dengan kemauan kita. Kita malah mengalah untuk satu sama lain.

Pada awalnya, gue dan Dion sama-sama berpikir jika seperti itu, kita enggak perlu harus capek-capek berantem. Tapi, semua itu salah. Gue dan Dion malah berakhir enggak pernah saling jujur terhadap satu sama lain.

Sehingga saat Kak Tara sakit, gue memutuskan untuk menyudahi semua. Yang pada awalnya gue tetap aja berbohong dengan bilang gue mau fokus sama Kak Tara. Gue masih mengingat jelas adu argumen kita kala itu.

"Kak Tara sakit, Yon. Aku mau ada buat Kak Tara."

Sejak Papa pergi, gue yang dari awal merasa enggak bisa sebegitu terbuka padanya menjadi semakin sulit untuk bisa membagi segala hal yang gue takutkan dan gue khawatirkan pada Kak Tara.

Saat Papa masih di sini, gue enggak bisa sedekat dan seterbuka itu dengan Kak Tara seperti sekarang ini. Namun, sejak Papa enggak ada, gue untuk mencoba lebih terbuka padanya karena dia harus menanggung beban yang berat.

KaharsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang