Dari Rilia: Pilihan

610 83 38
                                    

Senin, 29 Mei 2016

Pernah gak sih kamu ngerasa minder? Minder dalam segala hal karena ketika kamu lihat orang lain, mereka selalu punya suatu hal yang bisa dibanggakan, sedangkan diri kita enggak

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pernah gak sih kamu ngerasa minder? Minder dalam segala hal karena ketika kamu lihat orang lain, mereka selalu punya suatu hal yang bisa dibanggakan, sedangkan diri kita enggak. Punya sesuatu yang bisa buat orang lain bahagia dan senang, sedangkan kita enggak. Punya nilai bagus, sedangkan nilai kita pas-pasan. Punya kesibukan yang bernilai, sedangkan kita enggak.

Lahir di keluarga dokter membuat aku merasa seperti enggak memiliki apa-apa. Enggak punya kemampuan akademik yang baik, menjalani hidup biasa-biasa aja, enggak punya nilai bagus, enggak punya passion di bidang apa-apa. Jangankan mau jadi cumlaude, menembus ip jadi 3,5 aja udah susah setengah mati kejarnya.

Punya label keluarga dokter membuat orang lain memandang dan berekspektasi lebih sama aku yang notabenenya enggak punya apa-apa. Ketika aku pilih kuliah di Argani, semua orang jadi memandang aku sebelah mata. Yang tadinya memandang dan berekspektasi lebih jadi mencibir. Yang tadinya memberi semangat malah jadi menyalahkan.

"Ri, kamu mah pasti masuk FK kan."

"Ri kamu sudah daftar di FKG mana?"

"FK di Universitas Garuda bagus banget lho."

"Berati kau coba SBM untuk ambil FK, ya?"

Semua teman-teman di Jambi selalu berkomentar seperti itu. Jauh sebelum aku masuk Argani dan enggak tahu mau masuk kampus mana. Semua orang akan mengira aku masuk fakultas kedokteran atau fakultas kedokteran gigi, mentok-mentok aku ambil farmasi. Padahal pas SMA, mengerjakan pr Fisika aja tuh aku butuh waktu berjam-jam untuk jawab pertanyaan pr itu.

"Ri kok kamu masuknya Argani? Kampus apa itu?"

"Kenapa jauh nian jadi ambil akuntansi?"

"Kamu benar-benar gak masuk FK?"

"Itu jauh banget lho Ri, dari FK jadi akuntansi."

Ketika semua orang tahu kalau aku enggak masuk FK dan sejenisnya, semua orang syok. Aku gak mau masuk dokter kalau ujung-ujungnya harus lulus lebih lama bahkan dua kali lebih lama dari umumnya.

Jadi, apa jurusan akuntansi adalah cita-cita aku sampai banting setir dan memutuskan garis keturunan keluarga dokter Evodi? Enggak, aku sama sekali enggak pernah punya pikiran untuk ambil akuntansi. Aku enggak punya apa-apa, cari passion sampe bertahun-tahun pun aku tetep enggak tahu passion aku apa. Jago gambar enggak, jadi enggak mungkin masuk FSRD. Jago musik juga enggak, jadi enggak mungkin ambil sekolah musik.

Miris ya, aku minder sama orang-orang yang punya kesibukan dengan dunianya yang kelihatan asik, sedangkan aku cuma itu-itu aja. Passion gak ada, jago di bidang tertentu pun enggak ada. Mami sama Papi bahkan enggak menyangka kalau aku benar-benar memutus garis keturunan dokter di keluarga. Ya gimana, aku juga mau membanggakan Mami Papi dengan masuk kedokteran ternama yang ada, tapi gimana? Semuanya enggak mungkin karena aku enggak bisa dan enggak mampu.

KaharsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang