Untuk Raven & Hanesha: Pengakuan

455 70 59
                                    

Jumat, 3 Februari 2017

Hanesha

Benar kata orang-orang, ingin memiliki sesuatu yang lo mau membuat lo bisa aja kehilangan apa yang sudah lo punya. Kalau dikasih pilihan, pasti semua orang mau mendapatkan yang baru tanpa harus membuang atau menjauh dari yang lama. Tapi mana ada sih yang begitu? Enggak adil banget kedengarannya.

Waktu di bawah kanopi bengkel dekat kolong jembatan Roxy, di mana Raven bertanya siapa yang akan gue pilih antara diri gue dan Rili, gue enggak menyangka jika penutup kalimat Raven akan seperti ini.

"Could us be more serious now?"

"Hah?"

Asli, gue lebih kebanyakan cengonya dibandingkan menangkap semua pertanyaan dan pernyataan dari Raven.

"Kurang ajar gak kalau gue nanya gini? Di situasi kaya gini."

"Nanya apa?"

"Lo mau gak jadi cewek gue?"

"Hah? Apa?"

Daritadi gue cuma bisa hah hah hah aja, udah kaya tukang jual kelomang.

"Hahahaha, lucu banget."

Raven mengacak rambut gue pelan sambil tetap tertawa melihat wajah cengo gue yang sekarang jadi merah kaya tomat.

Kalau gue itu Nobita, gue udah merengek ke Doraemon untuk mengeluarkan senter pengecilnya. Eh enggak, gue mau minta pintu ke mana saja. Gue mau kabur dari tempat ini sekarang juga. Kalau senter pengecil, gue tetap mendapati Raven di depan gue.

"Lo enggak perlu jawab sekarang. Lo juga gak perlu merasa terbebani dan gue mau lo jujur. I will wait. Whether it takes a day, a month, or even a year. Whether it is yes or no, I feel relieved now."

Gue benar-benar mematung, enggak berkedip, bahkan gue lupa untuk napas selama beberapa detik. Untung gue enggak pingsan karena menahan napas terlalu lama.

Yang gue pikirkan cuma satu. Gue cuma mau pulang cepat-cepat. Tiba-tiba gue malah menyesal untuk menginap di rumah cewek malam ini. Ngejawab Raven? Haduh, itu mah gue enggak kepikiran ke mana-mana. Gue cuma mau cepat-cepat sampai rumah cewek aja.

"Yaudah yuk pulang, ujannya udah berenti."

Plis Ven, ujannya udah berhenti dari sepuluh menit yang lalu asal lo tahu.

Sepanjang jalan mulut gue komat-kamit kaya lagi baca doa seakan gue baru aja ketemu sunder bolong yang panggil tukang sate sambil bilang 'Mau satenya dua puluh tusuk Bang' kaya di film-film.

Tangan gue enggak bisa diam, gue terus menerus memainkan jemari gue. Pas motor Raven berhenti di rumah cewek, gue langsung setengah berlari untuk membuka pagar rumah macam di belakang gue ada anjing Dobermann kejar gue.

Gue udah siap lari ke pintu rumah kalau-kalau bayangan Ayah sambil ngomong enggak tiba-tiba muncul di pikiran gue.

"Hanes, jangan lupa bilang makasih kalau ditolongin seseorang."

Walah Yah, kenapa harus munculnya sekarang Yah.

"Makasih ya Ven," ucap gue cepat lalu masuk ke dalam rumah. Gue bahkan enggak sempat lihat reaksi Raven yang hanya bisa memandangi tingkah aneh gue.

"Nes, kamu enggak jalan kaki kan ke sini?"

"Hah?" tanya gue kaget ketika mendapati Kak Eve menatap gue sambil memegang segelas susu.

"Atau ketemu momo di jalan, Nes?" Lanjut Kak Diva.

"Momo?"

"Hantu maksudnya."

KaharsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang