Dari Ardhani : Berdamai

239 34 16
                                    

Sabtu, 18 Mei 2018


Kayanya malam ini gue akan berujung tidur jam empat pagi lagi. Selain sejak awal udah enggak bisa tidur, insiden Julian menabrak meja makan semakin membuat gue terjaga. Rasa ngantuk ada sebenarnya, tapi tetap aja gue enggak bisa tidur.

Butuh lebih dari lima tahun gue bisa berdamai dengan diri gue dan membuang pandangan akan diri gue bahwa mati lebih baik dibanding hidup. Butuh lebih dari lima tahun gue akhirnya bisa memeluk Mama sama Papa tanpa ada beban, tanpa ada rasa kecewa, dan tanpa ada rasa benci dari dalam diri gue.

Kalau bukan karena ide gila Vino yang memanfaatkan libur empat hari di akhir pekan kala itu, mungkin sampai sekarang pun gue belum bisa sedekat ini sama Mama Papa. Dan itu bukan sekadar wacana aja. Asli, kita beneran pergi.

Gue dipaksa bukan cuma oleh Vino, tapi dipaksa sama sembilan orang buat balik ke Bandung. Ya gue kalah suara lah. Gue ngotot enggak mau ikut aja kayanya Vino, Adriel, Julian, sama Raven akan gotong gue tengah malam pas lagi tidur.

Dan kalau kalian mengira kita semua nginep di rumah gue, jelas enggak. Haduh bisa ancur rumah Papa Mama dibombardir gitu. Udah malah anak cowok rusuh banget lagi. Kecuali rumah gue segede Vino Adriel tuh, ya gak masalah kita bersepuluh menginap sekaligus. Masih lega, main bola bareng di teras juga bisa.

Selama di Bandung empat hari itu, mereka meninggalkan gue seorang diri di rumah. Mereka hanya datang sebentar untuk menyapa Mama Papa yang kaget bukan main. Kok anaknya pulang enggak ngabarin, udah gitu pulang bawa temen yang jumlahnya udah kaya mau tawuran soalnya.

Tetangga yang jarang ngomong ke Papa Mama aja kaget banget lihat gue pulang apalagi dengan teman sebanyak itu. Apalagi waktu itu ada Civic sama Everest depan rumah di komplek perumahan sederhana ini, semakin kaget lah mereka.

Rumah sederhana ini mendadak udah kaya acara Grebek Rumah.

"Sana, lo masuk duluan." Suara Vino membuat gue mengernyitkan dahi.

Seakan mengerti maksud suadara kembarnya, Adriel men-trasnslate kalimat sederhana Vino menjadi lebih detail. "Lo udah lama enggak pulang. So take your time, kita di sini aja dulu. Lo bisa ngobrol dulu sama Papa Mama lo."

"Just text us when you already feel okay if we come to your home. Nanti kita baru main ke rumah lo," tambah Julian.

"Nanti ngomong ya Kak, jangan diem aja ya," sahut Raven.

Orang pertama yang gue jumpai di rumah setelah hampir dua tahun enggak pulang itu adalah Reya. Dia memanggil gue dengan semangatnya sambil berlari ke arah gue untuk bisa memeluk kakaknya yang sampai kapan pun enggak bisa menjadi contoh yang baik untuk adiknya.

"MAMA, PAPA, KAKAK PULANG NIH."

Lantas Reya langsung masuk ke dalam rumah memanggil Mama Papa. Yang ekspresinya benar-benar terkejut ketika mendapati keberadaan gue di depan pagar sedang berwarna biru tua.

"Ardhan?" Suara Mama terdengar sangat kaget, seakan Mama enggak percaya kalau gue lagi berdiri di depan rumah.

Tanpa berkata apa pun, Mama langsung memeluk tubuh gue erat, sangat erat. Hingga gue bisa merasakan hangatnya pelukan Mama yang sudah lama enggak gue rasakan.

"Ardhan." Gue mendengar suara Papa yang memanggil gue pelan.

Ketika Mama melepas pelukannya, Papa hanya maju selangkah agar berdiri di depan gue. Kemudian menepuk punggung gue pelan beberapa kali sambil tersenyum.

"Kamu naik apa ke sini, Ardhan?" Dan gue bisa melihat wajah bahagia Mama ketika melihat gue berada di rumah.

Gue menggigit bibir pelan, berusaha menahan air mata yang tampaknya bisa turun kapan saja. "Sama temen-temen Ardhan."

KaharsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang