Dari Hanesha: Petunia

574 71 25
                                    

Sabtu, 12 November 2016

Kadang kala, gue selalu bertanya dalam hati bagaimana gue harus survive sama hidup gue sendiri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kadang kala, gue selalu bertanya dalam hati bagaimana gue harus survive sama hidup gue sendiri. Gue selalu berpikir hal apa sih yang becus gue lakukan? Atau hal apa sih yang becus gue selesaikan? Enggak ada, enggak ada satu pun hal yang bisa gue lakukan dengan baik selain gambar. Lulus dengan nilai bagus? Bahkan ketika gue belajar udah kaya lagu di iklan ramayana yang lirik 'kerja lembur' jadi 'belajar', nilai gue tetap pas-pasan.

Apalagi mau bicara soal cita-cita? Hahaha, apa itu cita-cita? Wujud apa itu? Gue benar-benar melupakan apa itu cita-cita sejak Ibu sama Ayah melarang gue untuk menggambar apa pun media yang gue gunakan. Jadi akuntan? Atau auditor di Big Four? Gue cuma bisa ketawa miris ketika teman-teman seangkatan gue sangat ingin masuk Big Four. Sedangkan gue? Gue aja enggak tahu sidang gue nanti ngulang atau enggak.

Cari cowok makanya Nes biar ada yang nyemangatin dan perhatian ke lo.

Itu ucapan-ucapan klise dari berbagai orang yang enggak sengaja mendengar dan melihat penderitaan serta perjuangan gue untuk mendapatkan tiga huruf di belakang nama lengkap gue, yakni S.Ak.

Be realistic, dude. Gue yang enggak punya cita-cita, gue yang enggak punya angan-angan, dan kemampuan gue yang di bawah standar, masih pantes gak mikirin cowok? Am I deserve to think about that while my life is totally has a big hole? Lmfao, it's a big no.

"Hanes, kamu udah siap?" Suara tinggi Ibu terdengar dari luar kamar gue.

Gue harus ketemu Dokter Hana-untuk ke sekian kalinya-hari ini. Gue enggak tahu sampai kapan Ibu menyuruh gue untuk menemui Dokter Hana ketika diri gue aja enggak pernah menceritakan gangguan pada Dokter Hana selain mendengarnya dari Ibu. Itu awalnya, belakangan ini gue jadi merasa dekat banget sama Dokter Hana.

"Aku pergi sendiri aja, Bu."

"Nanti tahunya kamu enggak ke rumah sakit."

"Enggak Bu, aku janji kok. Nanti Ibu bisa telepon Dokter Hana buat tanya aku dateng atau enggak."

"Sendiri juga jauh Hanes."

"Karawaci gak jauh kok, Bu."

"Nanti kamu kenapa-napa, bawa mobil Ayah aja jangan naik motor."

Gue kira Ibu akan terus memaksa sampai akhirnya gue harus pasrah dan Ibu ikut ke rumah sakit. Akhirnya gue berangkat ke Abdihartoyo sendirian dengan mobil Ayah. Sebenarnya gue merasa semua ini sia-sia dan buang-buang tenaga Ibu sama Ayah. Namun, lambat laun gue kenal Dokter Hana ditambah omelan Kak Ardhan, gue jadi merasa usaha Ibu dan Ayah enggak sia-sia.

KaharsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang