Untuk Raven & Hanesha: Di Bawah Kanopi

523 73 53
                                    

Jumat, 3 Februari 2017

Hanesha

Gue hanya terdiam ketika mendapati seseorang menyodorkan helm ke arah gue. Gue juga hanya menatap helm itu tanpa berkedip sedikit pun. Permasalahannya, warna helm yang disodorkan bukan helm berwarna hijau milik Grab atau Gojek. Gue enggak kaget kalau yang menyodorkan helm ke gue adalah driver ojol, tapi ini gimana gue enggak kaget kalau gue aja belum pesan ojol. Ditambah lagi, helm yang disodorkan ke gue adalah helm yang ada di rumah cewek.

"Excuse me, dumbfounded, Sis?" tanyanya terdengar meledek.

Gue semakin cengo sehingga orang yang menunggu gue akhirnya memutuskan untuk memakaikan helm yang ia pegang ke kepala gue.

"Kok bisa ... kenapa lo yang jemput?" tanya gue bingung.

"Kak Dhan yang suruh gue jemput lo," jawabnya pelan.

Entah gue salah dengar atau hanya perasaan gue, ada nada yang sedikit kesal dari ucapannya.

"Kak Ardhan nyuruh lo? Dia kan lagi di Bandung buat lomba. Gue juga kan bisa naik ojol."

"Lo kan tahu seprotektif apa Kak Dhan sama lo," jawabnya lagi.

Karena besok hari Sabtu, gue ijin sama Ibu dan Ayah untuk menginap di rumah cewek. Biasanya Kak Ardhan memang lebih sering jemput gue kalau gue hendak menginap di rumah cewek dibandingkan naik ojol. Cuma gue enggak menyangka kalau Kak Ardhan menyuruh Raven untuk menjemput gue di stasiun.

"Kalau malem-malem turun di Grogol, jangan di Pesing."

"Males, Grogol rame banget, jalannya juga ribet. Kalau di Pesing lebih gampang."

"Justru itu, Pesing lebih sepi. Entar lo kenapa-napa."

Lain dengan Kak Ardhan, dia enggak pernah protes ketika gue turun di Pesing. Kak Ardhan hanya akan bertanya apakah gue turun di Pesing atau Grogol tanpa pernah memprotes gue untuk turun di stasiun yang lebih ramai. Sedangkan Raven, ini pertama kalinya Raven jemput gue di stasiun dan dia protes karena gue turun di Pesing malam-malam.

Gue enggak mengerti Raven malam ini. Dia kelihatan beda aja dari biasanya. Biasanya Raven jarang banget bicara dengan nada ketus terhadap orang yang dia kenal. Gue memang akrab sama Raven, tapi enggak seakrab kaya Rili sama Raven. Cuma tetap aja, yang gue tahu Raven jarang bicara ketus.

Raven juga sering banget antar Rili, Kak Diva, atau Kak Eve jika diminta tolong ke mana-mana. Bahkan ketika mengharuskan Raven naik motor berkilo-kilo jauhnya dari Tomang ke Cempaka Putih untuk ketemu kakak-kakaknya Rili, Raven tetap oke-oke aja.

Hanya aja, jangan pernah meminta tolong Raven di malam hari. Soalnya Raven biasanya paling males keluar atau bahkan enggak pernah keluar setelah isya untuk bawa motor sendiri. Kecuali Raven tinggal duduk manis dan anteng di jok motor atau jok mobil. Cuma malam ini, Raven beda. Dia bela-belain keluar jam setengah sembilan malam hanya untuk jemput gue dengan alasan disuruh Kak Ardhan.

Gue terus berkutat dengan pikiran gue sendiri sampai akhirnya gue mendengar suara petir cukup kencang. Enggak lama suara petir itu terdengar, air mulai turun satu per satu membentur aspal yang berdebu. Tanpa aba-aba dan bertanya, Raven langsung menepikan motornya di sebuah bengkel sederet kolong jembatan Roxy yang udah tutup.

Gue yang juga lagi kebingungan dengan pikiran gue bahkan enggak sadar kalau Raven udah menurunkan standar motornya. Dia bahkan menunggu gue turun supaya bisa ikut turun.

"Lo bengong mulu," ucap Raven sembari melepas helm berwarna hitamnya dengan gambar Mario Bros di tengahnya.

"Ya gimana enggak bengong, elo itu kenapa? Are you eating improper foods? Or taking a medicine wrongly?"

KaharsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang