Dari Ardhani: Kala Itu

279 37 31
                                    

Sabtu, 16 Mei 2018

Hidup di Jakarta kaya gini yang puji Tuhan gue bisa bertahan karena bertemu dengan anak-anak rumah, enggak ada kata lain selain bersyukur dan terima kasih. Gue pikir, gue akan ditemukan tewas di Jakarta─dengan segala kriminalitas yang terjadi. Karena gue sendiri pun enggak tahu tujuan gue ke sini buat apa, selain buat kabur dari rumah.

Kuliah? Ya gue cuma datang, duduk di kelas, makan di kantin, pulang. Enggak pernah kepikiran buat jadi mahasiswa aktif yang masuk senat atau BEM. Enggak kepikiran buat ikut unit kerohanian atau UKM. Yang gue lakukan cuma datang, pulang, tidur, dan kembali melakukan hal yang sama setiap harinya. Tanpa pernah ada tujuan lain, tanpa pernah ada harapan di sana.

Bertemu dengan Kella dan Diva pertama kali, gue enggak menyangka jika pertemanan gue akan melebar dan benar-benar dekat dengan Julian, Adriel, Vino, Raven. Enggak lupa dengan Hanes, Rili, dan Kak Eve. Awalnya gue sangsi ingin menjalin pertemanan─yang benar-benar teman dekat─pada orang lain. Karena menurut gue itu cuma mengurus tenaga gue, membuat gue menjadi kembali berharap tinggi, tetapi pada akhirnya yang gue dapat malah kecewa karena berharap terlalu tinggi.

Namun, mereka semualah yang menyadarkan gue bahwa gue layak dan berharga. Menolong gue untuk bisa berdamai dengan diri gue sendiri. Membantu gue untuk kembali dekat dengan Mama dan Papa.

Benar kata Julian, ketika elo punya ekspektasi tinggi, elo juga harus mempersiapkan hati yang besar ketika semua hal terjadi tidak sesuai ekspektasi lo. Namun, terlampau jauh dari ekspektasi itu benar-benar membuat lo merasakan sakit. Terlebih ketika ekspektasi yang ada sebenarnya bukan berasal dari diri lo.

Jadi awalnya, ketemu dengan Diva dan Kella yang mengajak gue mengobrol hanya karena Argani gembel banget anak ospek di sebelah kanan enggak kelihatan panggungnya, gue enggak pernah berharap bisa menjadi bagian dari teman dekatnya.

Kenapa sih lo gitu? Kok lo sok ye banget sih?

Gue yakin semua orang akan bilang gitu. Haha, gak peduli juga sih orang mau anggap gue apa.

Lo tahu, apa hal yang sama menyakitkannya seperti dibandingkan?

Ketika mereka yang lo anggap segalanya ternyata hanya menganggap lo sebagai sekadar.

Jaman SD, gue ya seperti anak lain pada umumnya. Main di luar pas sore, pulang juga kotor karena main di luar itu. Naik sepeda keliling komplek, ketawa sana sini. Ya gue normal lah, anak normal pada umumnya.

Sampai saat kelas satu SMP, semuanya terasa seperti mimpi buruk dan sekolah menjadi tempat yang paling gue benci. Setiap datang ke sekolah, gue seakan mendapat banner yang isinya Welcome to the hell, Ardhani Hazel Tarangga.

Iya, gue kembali punya teman, tapi kali ini berbeda. Hanya sebatas teman aja karena kerjaan mereka cuma minta PR doang. Tapi, itu enggak seberapa sampai suatu hari gue mendengar dengan telinga gue dan melihat dengan mata gue sendiri dari kejauhan.

"Gila, elo kok mau sih temenan sama anak haram gitu?"

"Dia pinter banget weh. Lumayan gue kan jadi enggak kesusahan kerjain tugas atau PR. Eh, tapi, elo tahu dari mana anjir?"

Sekadar teman yang dimanfaatkan.

"Jangan nyebar hoax lo, anak haram lagi sebutnya."

Lo tahu hal apa yang paling mengejutkan saat itu?

"Gue enggak sengaja denger Nyokap ngomong sama istri kakak ipar Nyokap. Nah katanya, dia punya saudara cowok yang anaknya lahir di luar nikah, namanya Ardhan."

Sekadar orang yang dipandang hina.

"Sama nama aja kali."

"Iya kali, sama nama ya? Tapi lo pernah lihat Bonyoknya Ardhan gak sih pas kita ambil raport gitu, masih muda banget."

KaharsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang