Sabtu, 16 Mei 2018
Di tengah gue yang masih sesekali memencet tuts keyboard padahal udah jam satu pagi, pikiran gue terbang ke masa-masa di mana gue melalui semuanya. Melalui berbagai hal sehingga gue bisa seperti ini.
Pertama kali gue datang ke Jakarta itu hanya bermodalkan sebuah rasa nekat dan selembar kertas yang menyatakan gue diterima sebagai calon mahasiswa penerima beasiswa penuh. Gue menjalankan serangkaian test dan interview di sekolah gue dan enggak perlu ke Argani karena sekolah gue ada kerja sama dengan Argani.
Mama? Mama enggak tahu kalau gue apply beasiswa di Argani. Jangankan tahu gue coba cari beasiswa di Argani, Argani aja letaknya di mana Mama enggak tahu.
Papa? Papa bingung kenapa anak sulungnya yang kurang ajar ini enggak kunjung daftar kuliah di sekitar Bandung. Atau seenggaknya tertarik seperti anak-anak seangakatan gue yang menggebuh-gebuh cari kampus sana-sini.
Reya? Cuma Reya yang tahu kalau gue keterima beasiswa di Jakarta waktu itu. Reya yang notabenenya waktu itu baru mau naik kelas 2 SD. Dia enggak sengaja melihat surat dari kampus yang ada di meja belajar. Reya yang waktu itu enggak mengerti apa-apa membuat gue terpaksa menjelaskan semuanya. Dan akhirnya, gue cerita ke Reya bahwa gue benar-benar harus ke Jakarta karena ospek tinggal dua minggu lagi.
Gue melewatkan segala hal yang mengharuskan gue ke Jakarta berulang kali. Kalau ada apa-apa yang butuh tanda tangan orang tua, gue yang tanda tanganin surat itu dengan meniru tanda tangan Mama. Kalau tanda tangan Papa terlalu susah buat diikutin. Tolong teman-teman, ini perbuatan tidak terpuji, jadi jangan dicontoh ya.
Gue juga berpikir kalau emang enggak keterima beasiswa, ya yaudah. Itu tandanya gue enggak bisa ke Jakarta dan gue kerja dulu aja di Bandung, simpel.
Awalnya gue enggak pengen bilang ke Mama dan Papa. Gue selalu berpikir apakah gue harus pergi diam-diam tanpa ada satu pun keluarga gue yang tahu. Tapi, pada akhirnya, Papa dan Mama tahu gue kuliah di Jakarta pun karena Reya yang cerita. Toh gue yakin Reya akan kasih tahu Mama sama Papa kalau gue mau pergi dalam waktu lama.
Bukannya gue sengaja menunggu Reya yang cerita, tapi gue merasa kalau diri gue enggak akan bisa memberitahukan semuanya pada Mama dan Papa. Gue takut Mama sama Papa semakin kecewa dengan diri mereka dan menyalahkan diri mereka lagi untuk ke sekian kalinya.
"Mama, Mama. Kemarin malem Reya lihat kalau Kakak lagi siap-siap mau pergi lama."
Gue enggak akan bisa pernah melupakan potongan kalimat Reya yang menatap gue dalam. Gue enggak akan pernah bisa melupakan raut wajah Reya ketika memberitahu Mama sama Papa kalau gue mau ke Jakarta.
"Kamu cerita apa Ardhan ke Reya?" Setelah beberapa lama hening, Papa akhirnya mengeluarkan suaranya.
"Kaya yang Reya bilang ke Mama tadi, Pa."
Selama ini yang Mama sama Papa tahu, gue enggak mendaftarkan diri di kampus mana pun. Mama juga tahu gue enggak ikut SNM atau SBM. Terlebih Mama sama Papa juga enggak mendesak gue kuliah tahun ini. Mama sama Papa juga bilang kalau memang gue mau masuk kuliahnya mepet-mepet ya enggak apa. Toh banyak kampus yang masih menerima pendaftaran pas perkuliahan akan dimulai.
"Ardhan diterima beasiswa di Argani, Pa, Ma. Dua minggu lagi udah mulai ospeknya." Suara gue semakin mengecil seiring berakhirnya pernyataan gue.
"Argani?" tanya Papa mengulang.
"Di Jakarta Barat kampusnya, Pa."
Waktu itu gue masih ingat semuanya. Mama yang memegangi pembidang untuk menyulam, Papa yang sibuk menonton headline news, dan Reya yang asik memakan Koko Crunch. Waktu itu gue ingat, hari di mana gue merasa kalau diri gue benar-benar enggak bisa membuat orang tua gue bahagia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kaharsa
General Fiction"Semua tokoh utama Disney aja harus berjuang biar punya ending yang bahagia." Ada dua sisi yang bisa ditentukan oleh setiap manusia. Sisi cerah yang diselimuti kebahagiaan dan sisi gelap yang dirundung kesedihan. "Lantas semua tokoh kartun aja perlu...