Dari Hanesha: Sketsa

536 78 17
                                    

Jumat, 5 Februari 2016

Gue kembali menemukan tumpukan barang yang sangat gue kenal di tong sampah depan rumah ketika gue baru aja pulang dari kampus

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Gue kembali menemukan tumpukan barang yang sangat gue kenal di tong sampah depan rumah ketika gue baru aja pulang dari kampus. Kertas dengan warna yang udah mulai menguning, beberapa kuas yang udah usang, dan juga beberapa kotak cat air yang hampir bela dua karena jatuh kebanting.

Gue tahu betul gimana kronologi cat air itu jatuh, sangat amat tahu. Cuma gue enggak nyangka aja kalau ternyata tumpukan barang itu baru dibuang sekarang. Gue kira udah dibuang ke tong sampah sejak satu tahun yang lalu.

Cukup lama gue berdiri di depan tumpukan barang itu sampai akhirnya bapak yang betugas jadi pengambil sampah dateng dan ambil barang-barang itu.

"Pak bentar, jangan diangkat dulu."

Bagian paling atas ada pensil dua belas warna yang enggak pernah gue pake, jadi gue ambil dan berniat gue kasih ke anak jalan kalau ketemu. Setelah itu gue ngubek-ubek barang itu dan akhirnya nemu semua kertas kusam yang untungnya enggak robek walaupun udah lumayan lecek.

"Nah udah nih, Pak."

"Neng, itu barang masih bagus lho."

"Udah gak dipake, Pak."

Lebih tepatnya gak boleh ada di rumah saya, Pak.

"Itu Bapak ambil aja buat anak Bapak, soalnya kalau dijual gak ada harganya. Kardus aja lebih mahal kali."

Iyalah, isinya cat air, palet, kuas, kertas sama yang lainnya. Masih ada yang mau terima buat diloakin aja syukur. Ketika semuanya bener-bener masuk ke dalam gerobak sampah, gue baru masuk ke dalam rumah.

"Kamu mau makan di rumah gak?" tanya Ibu ketika gue baru aja lepas sepatu.

"Aku mau nginep di tempat Rili, Bu."

Gue terdiam di depan meja makan sambil lihat semangkuk soto ayam yang udah siap dan tinggal dimakan. Mungkin ini makanan pertama yang disiapin Ibu buat gue sejak enam bulan yang lalu. Gue duduk dan makan dalam diam, enggak berusaha keluarin suara sedikit pun.

Gue capek, gue lelah, gue pengen banget teriak ke Ibu sama Ayah, "Sampai kapan harus kaya gini?"

Cuma gue bisa apa? Sejak gue lulus SMA dan masuk kuliah, rasanya gue seakan lupa bagaimana cara nyapa Ibu sama Ayah. Bertegur sapa, cerita sana-sini sama Ibu seperti saat gue kecil. Iya gue lupa, bahkan bagaimana cerita untuk diri sendiri pun gue lupa.

"Hanes! Ibu kan udah bilang jangan simpen gambar-gambar lagi!"

Pandangan gue yang sedaritadi cuma lihatin mangkuk isi soto ayam di meja makan, jadi teralihkan ke Ibu. Ibu lagi pegang kertas yang baru gue ambil tadi di tumpukan barang yang hampir aja masuk gerobak sampah. Ibu ancungin kertasnya, terus diremes sama Ibu dan dibuang ke tong sampah.

KaharsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang