Dari Mereka: Berharap

493 57 98
                                    

Harsh words detected.

❁❁❁

Jumat, 9 Maret 2018

Pagi itu ketika Adriel menerima telepon Akella yang hanya diam, kemudian memberitahunya bahwa Nediva pergi tanpa berkata apa pun, semua anak-anak rumah cowok terdiam. Mereka yang baru saja bangun tidur dan masih mengumpulkan nyawa mendadak sadar sepenuhnya.

"Hah? Diva ke mana?" tanya Julian ulang sambil meluruskan rambutnya yang masih berantakan. Ia hanya mendengar sayup-sayup dari dalam kamar. Karena terdengar gaduh, Julian yang baru tidur jam dua pagi mau tak mau beranjak dari kasurnya. Julian melihat keempat temannya sudah duduk di ruang tamu sambil mengucek mata.

"She is gone," sahut Adriel pelan ketika mendapati Julian tengah menuruni tangga terakhir.

"And we have no clue where she is now," tambah Adriel.

Ardhani diam tanpa berkomentar apa pun. Ia yang paling diam ketika mendengar suara gaduh dari ruang tamu.

"Mama Kak Diva di Bangka, Papanya di Bali. Mungkin Kak Diva pergi ke salah salah itu?" tanya Raven berusaha membantu yang lain mencari jawaban ke mana perginya Diva.

"Kalian sadar gak sih? Ini bukan tentang ke mana Diva pergi, tapi tentang kenapa Diva pergi." Ardhani yang sejak tadi terdiam akhirnya mengeluarkan suara.

"Orang, kalau pergi enggak bilang-bilang, gak ngomong apa-apa, itu karena mereka butuh waktu."

Ucapan Ardhani membuat semua yang ada di ruang tamu terdiam dan menatap lekat laki-laki berkaos hijau army itu.

"Kok lo kesannya kaya gak peduli Diva sama sekali sih, Dhan?" Suara Elvino terdengar di tengah kesunyian. Mata Elvino kini tertuju pada Ardhani dan menatapnya lekat.

"Gue bukan gak peduli, tapi gue cuma ngomong aja karena pernah di posisi itu, No," sahut Ardhani balik menatap Elvino tegas.

"Ya lo at least tunjukin lah kalau lo beneran khawatir," sahut Elvino.

"Buat apa gue bagi-bagi kekhawatiran gue kalau akhirnya hanya membuat kalian jadi ikut tambah khawatir?" tanya Ardhani sarkastik.

"Kok lo anjing banget sih, Dhan?" Suara Elvino naik satu oktaf.

"No, udalah," sahut Adriel sambil menyenggol lengan Elvino.

"Gue cuma ngomongin kenyataan, Elvino." Ardhani menekan setiap kata yang keluar dari bibirnya.

"Bangsat lah lo berdua. Do you even need to make a quarrel about this? Apa sih tujuan lo bacot-bacotan gini? Shut your face, it ain't solve any problems at all."

Mata kecil Julian menatap dua laki-laki berumur satu tahun lebih muda darinya secara bergantian dengan tatapan datar sekaligus kesal.

"Udah-udah, yok Kakak-Kakak tarik napas yang dalam lalu hembuskan pelan-pelan."

Raven memperagakannya dengan benar-benar menarik napas lalu kedua tangannya turun ke bawah bersamaan dengan hembusan napasnya.

Raven selalu berperan dalam mencairkan suasana ketika mereka semua bertengkar. Karena Raven tipe plegmatis yang cinta damai, ia paling malas memulai keributan dan lebih memilih untuk menyimpannya. Raven jarang sekali memulai keributan dengan empat temannya yang sudah ia anggap sebagai kakak sendiri.

"Mending sekarang mandi deh, percuma ngomongin sekarang, kita pasti ribut lagi," sahut Adriel.

❁❁❁

KaharsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang