Minggu, 10 Mei 2015
Setelah pulang dari gereja, semua orang di rumah cuma duduk-duduk aja di sofa. Sebuah rekor, belum siang kita udah balik gereja karena hari ini akhirnya gue bisa bangun untuk misa pagi.
Di hari yang udah menjelang siang, Mama, Papa, dan tentunya Kak Nada mulai sibuk cari restoran untuk acara lamaran. Kata Mama, ogah banget lamaran di rumah, sangat amat ribet. Kak Nada juga mulai sibuk searching gaun model apa aja yang mau dipakai di hari pernikahannya nanti.
Enggak cuma keluarga gue aja sih, keluarga Kak Delvin juga enggak kalah sibuknya. Gue bahkan enggak tahu udah berapa kali Kak Delvin bolak-balik ke rumah buat jemput Kak Nada dalam seminggu ini. Walaupun pemberkatan sama resepsi pernikahannya masih bulan September, gue sudah merasakan sibuknya orang rumah dari sekarang.
Jadi dengan situasi yang tengah hectic ini, bisakah gue kembali membuka obrolan yang malah merusak suasana, nambah mumet aja, dan akhirnya cuma dapet jawaban yang sama?
Setelah malam itu, malam di mana Kella meminta maaf pada gue, gue merasa jika malam itu menjadi sebuah tamparan bagi gue untuk tersadar. Menyadarkan diri gue kalau enggak semua harapan dan keinginan gue akan berjalan sesuai alur yang diciptakan oleh isi kepala gue.
Dulu, gue sama sekali enggak kepikiran kalau kita enggak bisa jalan masing-masing. Dulu, gue cuma mikir baik gue dan Kella bisa kok menghormati kepercayaan masing-masing. Dulu, gue selalu mikir kalau Mama Papa enggak akan mempermasalahkan ini begitu juga dengan Mama Papa Kella. Iya, dulu. Have you ever felt like wanna go back to that 'dulu'? Haha, padahal quotes yang sering gue denger itu lo boleh pergi ke mana pun, asal bukan masa lalu.
Dua minggu kemudian, gue bertanya pada Mama. Hanya Mama, gue belum berani membuka diskusi bersama keluarga gue. Gue hanya menanyakan hal sederhana pada Mama.
"Ma, kalau Kella enggak mau ikut katekumen gimana?"
Mama menjawab pertanyaan gue dengan cepat, tanpa jeda, tanpa berpikir. "Gimana ya Jul, Mama Papa maunya kalau bisa ikut katekumen. Ama sama Akung pasti enggak akan setuju."
Kalau bisa, itu artinya wajib. Enggak akan setuju, itu menandakan gue enggak punya harapan.
"Ada apa?" Papa yang baru selesai mandi juga langsung nanya gue karena terlihat percakapan gue dan Mama cukup serius. Sehingga gue mau enggak mau harus bertanya pada Papa.
"Pa, aku boleh jalan masing-masing?" Papa menautkan kedua alisnya, meminta penjelasan lebih.
"Aku sama Kella, jalan masing-masing."
"Kella enggak mau ikut katekumen?"
"Kayanya, iya." Padahal jawabannya bukan kayanya iya, tapi memang iya.
"Kamu udah coba yakinin dia belum?"
Semua menandakan gue enggak punya harapan. Dan Kella bener, enggak akan bisa, sampai kapan pun kita tetep enggak akan bisa. Sehingga gue enggak melanjutkan pertanyaan gue karena pada akhirnya jawabannya tetep sama.
"Dek, lo kenapa sih?" ucapnya dengan nada sewot. Padahal gue tuh enggak ngapa-ngapain dia lho.
"Ya ampun calon manten jutek banget?" ledek gue.
"Ya elo habisnya gue perhatiin belakangan ini selalu aja keliatan mikir sama gelisah gitu. Lo gelisahin apa, Dek? Yang mau nikah gue kok lo yang gelisah jadinya."
"Yeee, emangnya yang boleh gelisah cuma yang mau nikah?" tanya gue balik.
Udah disindir sama Kak Nada, jadi apakah gue harus menghancurkan minggu yang damai ini? Sebenernya, waktu itu Kak Nada enggak ada di rumah. Tapi tetep aja, Papa Mama enggak akan mempan juga dengan ucapan Kak Nada. Jadi untuk apa bertanya lagi? Enggak akan mengubah hasil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kaharsa
Tiểu Thuyết Chung"Semua tokoh utama Disney aja harus berjuang biar punya ending yang bahagia." Ada dua sisi yang bisa ditentukan oleh setiap manusia. Sisi cerah yang diselimuti kebahagiaan dan sisi gelap yang dirundung kesedihan. "Lantas semua tokoh kartun aja perlu...