Jumat, 12 Agustus 2016
"Kak Jul, ajib lo. Presentasinya agak kacau," protes cowok bernama Dennis blak-blakan.
Kita semua lagi makan bakwan malang yang jaraknya enggak jauh dari sekolah yang kita datengin di daerah Pademangan.
"Lo kelihatan ... gimana cara jelasinnya, ya? Bukan capek sih, tapi sedih juga bukan. Cuma kaya lo beda aja dari biasanya, Kak," tambah Icha.
Gue, Julian, Icha, dan Dennis sering jadi satu tim untuk promosiin kampus. Kita cukup sering ke Lampung berempat untuk promosiin sekolah di sana juga.
"Maaf ya, lagi gak fokus tadi." Julian ngomong pelan sambil masukin sambel ke mangkoknya.
"Lo ada masalah, Kak?" tanya Dennis.
Julian menggeleng. "Nah, I'm good."
"Lo kalau ada apa-apa jangan dipendem, Kak. Capekin diri lo sendiri," tambah Icha.
"Hehehehe, gue enggak kenapa-napa. But anyway, thank you for your concern, guys."
Gue hanya diam, memakan bakwan malang gue tanpa mengomentari Julian sedikit pun. Sebenarnya, sebelum-sebelum ini, Julian juga kadang gak fokus. Padahal biasanya presentasi dia untuk promosiin kampus itu bener-bener bagus.
Bener kata Icha, dia bukan kaya lagi capek. Namun, untuk dibilang sedih pun wajahnya enggak menggambarkan ekspresi sedih. Ekspresi Julian gak bisa dijelasin, tapi kelihatan dia enggak kaya biasanya.
Anak-anak rumah tahu alasan cowok tinggi berkacamata itu kelihatan enggak kaya biasanya.
Anak-anak rumah udah lihat Julian dan Kella enggak kaya biasa sejak semester lalu. Mereka tetap main bareng sama kita semua, terlihat tingkah yang aneh atau canggung pun gak ada. Hanya eskpresi mereka aja yang berbeda, terlebih sirat matanya.
Kita enggak pernah tanya ada apa dengan mereka. Karena sedekat apa pun kita, kalau Julian atau Kella belum cerita, itu artinya mereka belum siap cerita. Namun, lama-lama Vino menceritakan semuanya. Mungkin, kalau enggak karena Vino, kita pun enggak tahu kalau mereka udah enggak sama-sama lagi. Serta alasan dari eskpresi mereka yang berbeda.
"Eh, harus buru-buru pulang nih." Icha tiba-tiba memakan bakwan malangnya sedikit cepat.
"Kenapa Cha?" tanya gue.
"Temen aku jatuh dari motor, Kak," jelas Icha.
"Yaudah lo balik sama gue aja biar cepet," sahut Dennis.
Mereka berdua meninggalkan gue dengan Julian yang sama-sama tenggelam dengan pikiran masing-masing.
Temen aku.
Gue enggak pernah punya teman dekat semasa sekolah. Enggak pernah ada yang awet sampai gue pernah intropeksi diri gue sendiri. Emangnya ada yang salah sama diri gue ya sampai gak punya temen yang awet? Emangnya gue sejahat itu sampai gak bisa punya teman yang bertahan lama?
Semasa sekolah, teman dekat sih ada sebenarnya. Cuma kaya gini siklusnya. Gue dan mereka dekat, tapi setelah lulus sekolah kita jadi enggak dekat. Bahkan ketika gue dan mereka lanjut ke sekolah yang sama pun, mereka punya teman baru. SD gitu, SMP sama, pas SMA apalagi.
Jadi semasa sekolah gue lebih sering menghabiskan waktu bermain dengan Vino dan Adriel. Alasannya? Papa Mama enggak pernah absen untuk main ke rumah Vino dan Adriel setiap akhir pekan. Atau pun Om Ferdi dan keluarganya yang main ke rumah.
Orang tua gue dan orang tua kembar saling kenal sejak lama. Tante Levi beberapa kali cerita kalau dulu, Mama Papa selalu bantu-bantu Om Ferdi pas baru buka usahanya. Jadi anak-anaknya ikutan kenal dan akrab kaya orang tuanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kaharsa
General Fiction"Semua tokoh utama Disney aja harus berjuang biar punya ending yang bahagia." Ada dua sisi yang bisa ditentukan oleh setiap manusia. Sisi cerah yang diselimuti kebahagiaan dan sisi gelap yang dirundung kesedihan. "Lantas semua tokoh kartun aja perlu...