Tiittt.. Tiittt..
Bunyi melengking yang memasuki indera pendengaran Jihoon membuatnya tersadar dari tidurnya. Dia berusaha menggerakan tangan kanannya untuk menutup telinganya sendiri. Namun dia malah merasakan nyeri yang sangat luar biasa di seluruh tangan kanannya.
Dia coba menggerakan tangannya yang lain. Tapi tangannya ini juga tidak bisa bergerak leluasa. Ada benda yang menempel di pergelangan tangannya dan sedikit menusuk.
Mau tidak mau, Jihoon membuka matanya dengan malas. Melihat dinding-dinding berwarna putih bersih dengan aroma obat-obatan yang khas.
Rumah sakit?
Jihoon mengangkat sedikit kepalanya dengan sekuat tenaga. Tidak ada seorang pun di ruangan itu. Dibanting kepalanya kembali ke atas bantal empuknya.
Dia meneguk air liurnya sendiri untuk menahan haus di tenggorokannya yang sangat menyiksa itu. Ke mana orang-orang? Aku haus sekali.
Matanya terus bergerak-gerak mencari tombol yang biasanya dipersiapkan rumah sakit untuk memanggil dokter. Tapi apa? Dia tidak menemukannya. Pasti ada di atas kepalanya. Terpasang dengan tombol-tombol lainnya yang ada di kepala kasur.
Dengan setengah tenaga dari punggungnya, Jihoon membangunkan dirinya sendiri ke posisi duduk. Tangan kirinya sedikit membantu dirinya untuk menyeimbangkan diri. Sayang, karena infus itu, tangan kirinya melemah dan membuatnya hampir terjatuh ke sisi kiri.
"Jihoon-ah!" Panggil seorang wanita. Jihoon tidak bisa melihat siapa itu. Badannya sungguh lemas tanpa tenaga.
"Kau mau apa? Jangan bergerak dulu. Kau masih masa pemulihan." Ucap orang itu.
Jihoon melihat sebentar ke arah yeoja itu. Lalu membiarkannya menaruh Jihoon ke posisi tidur kembali. "Aku haus." Kata Jihoon singkat dengan suara yang agak serang.
Mira bergerak menuju dispenser untuk mengambil segelas air untuk Jihoon. Menyentuh bagian belakang kepala Jihoon dengan pelan dan membantu pria itu untuk minum. "Ada lagi?" Tawar Mira.
Jihoon menggeleng. "Gomawoyo."
"Cheonmaneyo."
Setelah itu ruangannya kembali sunyi. Tidak ada yang bersuara. Mira diam terduduk di samping ranjang Jihoon sambil memainkan ponselnya. Jihoon mulai kembali bosan. Dia terbiasa berdiam diri jika sendirian, tapi kalau ada orang lain. Apalagi itu Mira, Jihoon sama sekali tidak terbiasa. Rasanya sangat canggung.
Terutama karena dia mengetahui karakter Mira. Tidak mungkin Mira betah berdiam diri. Biasanya dia juga akan mengomel jika melihatnya luka-luka begini.
Tidak tahan dengan suasana canggung itu, akirnya Jihoon yang memulai pembicaraan. "Mira-ya."
Mira dengan cepat mengalihkan matanya dari layar ponsel. "Ne?"
"Kenapa kau diam saja? Biasanya juga mengomel."
"Kau rindu omelanku ya?" Goda Mira.
"Tidak tuh." Elak Jihoon. Memalingkan wajahnya ke sisi kiri. Pura-pura melihat ke arah Jendela. Padahal dia hanya ingin mengalihkan mata dari Mira.
"Malu-malu ya.." Goda Mira lagi. Jihoon memilih untuk mendiaminya.
Mira tertawa karena melihat ketidakberdayaan Jihoon. Terlihat sangat menggemaskan.
"Mana mungkin aku tega mengomelimu dengan keadaanmu yang mengenaskan begini." Kata Mira.
"Hanya tangan kanan yang paling parah." Balas Jihoon.
"Hanya ya?! Tanganmu itu dijahit delapan jahitan dan kau itu pingsan selama dua hari. Untung bukan sebulan." Oceh Mira.
"Ini baru Mira yang ku kenal." Tawa Jihoon.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Lie
FanfictionKalau diberikan kesempatan untuk memiliki wajah cantik dan tubuh sempurna, apa kalian akan merasa senang dan beruntung? Mungkin sebagian besar jawabannya 'Iya'. Namun berbeda dengan Karmel. Gadis populer ini tidak menggunakan kesempurnaannya dengan...