45. Kesan Pertama

283 55 17
                                    

Hari ini malam terasa datang lebih lama. Di dalam kamarnya, Karmel sendirian menunggu kapan matahari memberikan tugasnya pada bulan.

Karmel baru merasakan jika ternyata dirinya terlalu hampa tanpa hawa kehidupan lain di sana seperti ini. Mira dan yang lainnya pasti masih sekolah. Jeonghan juga sedang ada beberapa urusan tetang perkuliahannya.

Dia bosan.

Selintas ide untuk jalan-jalan pun muncul dibenaknya. Dengan tubuh yang sudah semakin membaik, Karmel merasa dia akan diperbolehkan untuk pergi keluar. Lagipula dia sudah tidak lagi memberontak sejak sakit kepala hebat menyerang kepalanya, lalu semua memori itu perlahan kembali padanya sedikit demi sedikit.

Karmel beranjang dari kasur yang sudah ditempatinya beberapa hari itu. Berjalan keluar kamarnya dengan sandal khas rumah sakit yang tipis tanpa tujuan yang jelas.

Beberapa suster dengan ramah menyapanya di jalan walau Karmel yakin para suster itu tidak tau siapa dirinya. Sama seperti keadaannya dulu jika di sekolah. Kenyataan pahit yang menyedihkan. Karmel tidak pernah suka dengan keadaan orang-orang yang memuja kecantikkannya. Sebagian dari mereka hanya suka memanfaatkannya.

Sudah beberapa lorong sudah Karmel lewati. Tapi dia merasa hanya berputar-putar di sana karena matanya lagi-lagi melihat nomor kamar yang sama. R104. Kamar Jihoon.

Tanpa mengetuk atau permisi, Karmel membuka pintu kamar itu. Memasukan kepalanya terlebih dahulu untuk melihat keadaan di dalam kamar tersebut. Dia tau jika Jihoon masih tidak sadarkan diri dari Mira yang selalu menjenguk pria itu. Bahkan nomor kamar ini juga dia ketahui dari gadis itu. Mira selalu memintanya untuk menjenguk Jihoon sesekali. Namun hati Karmel belum mampu.

Entah apa yang dirasakannya sekarang. Mungkin dia terlalu merindukan wajah pria itu sampai kedua kakinya berjalan sendiri ke sini.

Hening. Kamar ini bahkan lebih sunyi dari kamarnya tadi. Hanya terdengar suara dari pendeteksi jantung yang mendominasi ruangan itu. Dengan langkah tegap, Karmel pun menghampiri ranjang tersendiri di sana. Meneliti secara jelas wajah seseorang yang terbaring lemah di sana.

Sudah berapa hari tepatnya mereka di sana, Karmel pun tidak ingat. Namun Jihoon masih saja menutup matanya. Keningnya terasa dingin karena AC diruangan ini ketika Karmel menyusapnya pelan.

"Kau sudah sedingin es. Bangun dan hangatkan dirimu. Aku rindu senyummu." Gumam Karmel. Dari kening, tangannya bergerak menuruni pipi putih Jihoon dan berakhir di bibir pucat itu. Lebih tepatnya ventilator untuk membantu Jihoon bernafas.

Seulas senyum muncul di bibir Karmel. Karmel tidak pernah menyentuh bibir Jihoon secara langsung. Dia tidak terlalu berani menyentuhnya. Bahkan jika Jihoon sadar dia menyentuh bibirnya, mungkin Karmel akan langsung kabur karena tertangkap basah.

Bagaimana rasanya permukaan bibir Jihoon? Bibir yang biasanya merah kepucatan dan terlihat segar itu. Karmel jadi ingat saat pertama kali Karmel meminta Jihoon menciumnya. Itu kejadian yang memalukan. Dia tidak bisa bayangkan dirinya yang dulu bisa senekat itu untuk menanyakan hal yang sensitif tersebut.

Tapi Karmel merasa beruntung Jihoon tidak mau melakukannya. Kekhawatiran Jihoon benar. Kalau sampai mereka berciuman, maka Karmel yang akan tersakiti. Jihoon tidak boleh bersamanya terlalu lama. Pria ini bisa semakin parah. Karmel tidak akan membiarkan pria seperti Jihoon tersiksa karena terus bersamanya. Dia pantas mendapatkan yang lebih baik.

"Kalau kau punya pilihan, kau pasti tidak akan memilihku kan? Kau pasti memilihku hanya karena tidak enak atau.. Kasihan." Ucap Karmel pada dirinya sendiri. Dadanya sakit. Tapi dia merasa itulah kenyataanya.

"Aku tidak menyesal mengenalmu, tapi kau pasti menyesal mengenalku." Sunjingan senyum muncul di bibir Karmel. Dari dulu hidupnya memang selalu menyusahkan orang lain. Menurutnya kenapa dirinya sampai bisa pindah ke Korea di saat keluarganya ada di Amerika?

Sweet LieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang