29. Sarang

320 60 57
                                    

Satu persatu jari lentik Karmel menuruni telapak tangannya sendiri. Menghitung hari yang telah berlalu dengan bantuan sepuluh jarinya. Tapi setiap kali dia mengulangi hitungannya, tetap saja ada yang mengganjal.

Sekitar tiga minggu. Itu juga belum termasuk saat Jihoon mendapat perawatan dari rumah sakit. Namun tangan Jihoon masih saja diperban. Padahal seharusnya tangannya tidak perlu lagi diperban.

Kalaupun jahitannya belum menyatuh dengan kulit sepenuhnya, tidak mungkin Jihoon masih belum bisa bergerak bebas seperti semula. Walaupun masih terperban pun, dia tetap bisa melakukan kegiatannya dengan normal tanpa takut jahitannya terlepas.

Ini terasa aneh.

Bukan dia ingin lepas tanggung jawab dalam membantu Jihoon ataupun tidak menyukai saat-saat bersama Jihoon. Dia bahkan sangat menginginkan hari yang lebih lama jika bersama Jihoon. Tapi kenapa rasanya sangat mengganjal jika lukanya belum juga sembuh?

Yang membuat kecurigaannya semakin bertambah adalah karena Karmel tidak pernah sepenuhnya menggantikan perban Jihoon. Jihoon selalu berkata jika perbannya sudah diganti dengan bantuan Wonwoo. Karmel hanya sering membantu Jihoon dalam pekerjaannya, membantunya menulis angka dan juga mendengar nyanyian merdu pria itu.

Tidak pernah menyentuh kulit atau melihat tubuh pria itu secara langsung tanpa pakaian. Ini juga bukan karena Karmel ingin melihatnya. Walau tubuh itu memang sangat menggoda, tetap saja dia tidak boleh melihatnya terlalu sering. Itu akan merusak otaknya.

Dia ingat ketika pertama kali melihat tubuh Jihoon. Sampai pulang ke rumah dan di alam mimpi pun, Karmel terus membayangkan tubuh Jihoon yang tanpa atasan itu. Mengerikan? Sangat. 2 hari dia baru bisa menghilangkan bayang-bayang itu.

Karmel mengibas-ngibaskan tangan di atas kepalanya. Lagi-lagi aku kembali membayangkan bahu dan dada telanjang Jihoon. Harusnya kan aku memikirkan luka Jihoon yang tidak sembuh-sembuh itu. Batin Karmel.

Dengan kedua tangannya dia mengetuk-ngetuk kepalanya sendiri untuk menghilangkan pikiran negatif itu. Sudahlah, Karmel-ah. Lebih baik kau nikmati saja saat-saat ini. Daripada nantinya kau tidak bisa bersama Jihoon lagi.

Di sisi lain, ketika Karmel memikirkan kejanggalan Jihoon, Mira juga merasakan hal yang sama. Namun bukan kecurigaan seperti Karmel. Melainkan kekhawatiran yang besar layaknya seorang kakak.

"Jihoon-ah, kau yakin sudah bisa menulis? Tanganmu kan masih bisa diperban." Kata Mira ketika melihat Jihoon yang sedang menggerakan tangan kanannya yang kaku untuk menulis asal di atas kertas.

"Ne. Aku sudah baik-baik saja. Padahal tidak lama aku tidak menulis, tapi kenapa tulisanku sejelek ini ya." Sindir Jihoon pada dirinya sendiri diikuti kekehan renyah khas pria itu.

"Kalau begitu biar ku bantu kau menulis. Jangan paksakan diri." Kata Mira lagi. Terus menahan Jihoon agar tidak kembali mengeratkan pegangan di pensil itu.

"Gwaenchanayo. Aku sungguh sudah lebih baik. Aku tidak mau merepotkanmu lebih lama." Bantah Jihoon dengan lembut.

"Kau tidak pernah merepotkanku. Aku ini sahabatmu, jadi sudah seharusnya aku membantumu." Walau kata 'Sahabat' itu menyakiti Mira, tidak ada kata lain lagi yang bisa dia gunakan. Hanya itu yang terpikirkan olehnya.

"Kau memang sahabat terbaikku. Tapi biarkan aku mencobanya. Aku tidak ingin lupa cara menulis hanya karena terluka seperti ini." Kata Jihoon lagi. Tersenyum. Lalu kembali menulis di bukunya Mira.

"Aish.. Lihatlah! Tulisanku seperti anak yang baru belajar menulis. Jelek sekali." Ucap Jihoon dengan nada kesalnya.

Mira melihat sekilas tulisan Jihoon. Memang tidak terlalu jelas dan acak-acakan. Apalagi tulisan Jihoon kecil-kecil dan terlihat imut seperti orangnya. Namun jika dibaca lebih cermat, Mira juga bisa membacanya. Dan tulisan Jihoon di atas buku itu membuat pipi Mira memanas.

Jangan khawatir. Aku sudah benar-benar sembuh. Kamsahamnida Mira-ya. Kau sahabat terbaikku :)

"Kau bisa membacanyakan? Atau aku perlu mencoba yang lebih jelas lagi?" Kata Jihoon. Dia mengambil buku Mira kembali. Membelakanginya, menulis sesuatu di mejanya sendiri tanpa memperlihatkannya pada si pemilik buku.

Dari belakang, Mira bisa lihat betapa serius Jihoon mencoba untuk menulis kembali. Keseriusannya hanya bisa membuat Mira mengubur kekhawatirannya sendiri.

"Jihoon-ah, kau menulis apa? Kenapa lama sekali?" Tanya Mira.

Orang yang dipanggil menegakkan badannya. Memalingkan wajah ke arah Mira. Menyengir lebar sampai kedua mata sipitnya tertutup.

Kembali Jihoon berhadap-hadapan dengan Mira. Mengembalikan bukunya dengan kondisi tertutup. Mira tertawa sebentar, lalu membuka lembar belakang bukunya sendiri.

Di halaman pertama hanya ada tulisannya yang tadi. Mira sempat berpikir, Jihoon mungkin ingin menghabiskan lembaran bukunya dengan coret-coretan kecil. Lalu dia kembali membalik lembaran yang ada di belakangnya. Barulah dia yakin jika Jihoon memang ingin menghabiskan lembaran kertasnya.

Di halaman tersebut, Jihoon menuliskan banyak sekali nama 'Kim Mira' dengan berbagai peningkatan dalam menulis.

"Kau seperti mendapat hukuman untuk menulis namaku saja." Canda Mira. Dia terkekeh sambil melihat tulisan-tulisan mungil itu. Hatinya berbunga-bunga hanya karena pria itu menuliskan namanya. Sampai dia melihat kata yang berbeda dari namanya sendiri di beberapa tempat.

Chingu

Terbaik

Yang pernah

Ku miliki

Sarang

Chakkaman!! Mwoya?? Sarang!?

"Sudah ketemu ya kata-katanya." Ucap Jihoon masih dengan cengirannya.

"Saranghae chingu ya. Kau selalu jadi teman terbaikku."

Deg

◇🌸◇

Jihoon senang banget bikin orang serangan jantung. Pakai bilang 'Sarang'. Maksudnya apa kali? Sebenarnya dia milih siapa sih?

Kemarin ada yang minta double up kan? Sekarang aku mau kabulin permintaannya nih 😆

Tapi ada syaratnya. Aku mau kalian vote chap ini sampai 13 vote. Tidak banyak kan? Atau itu kebanyakan untuk ceritaku ini? 😯 Dicoba dulu deh. Nanti kalau sudah 13 vote, pasti aku akan langsung up chapter 30.

Semangat semuanya 😆
Apalagu Woozi sudah berambut hitam lagi 😄
Jangan lupa vote dan komennya ya
Annyeong~

Sweet LieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang