...
...
...
"Sampai kapan aku harus di sini? Aku mau pulang." Kesal Jihoon.
"Ya!! Cepat jawab aku. Aku bisa gila jika terus bicara sendiri begini." Jihoon berdiri dari duduknya di ruangan gelap yang membuatnya tidak dapat melihat apapun. Jika bukan karena tubuhnya sendiri yang berdiri, dia tidak akan tau jika dirinya sudah berdiri.
Bahkan dia tidak tau dengan siapa dan seperti apa orang yang bicara dengannya. Mungkin benar. Dia memang sudah gila karena bicara dengan pikirannya sendiri sejak beberapa hari yang lalu.
"Kalau kau tidak segera menjawabku, maka aku akan kembali mencari jalan untuk keluar dari tempat ini!" Ancam Jihoon.
"Memangnya apa yang bisa kau lakukan? Kau sudah pernah mencoba mencari jalan keluar, tapi tidak kau temukan juga bukan?"
Jihoon menyunjingkan senyumnya menyindir. "Kalau kemarin mungkin saja aku melewatkan beberapa titik dan kurang berusaha keras."
"Kenapa kau ingin keluar? Bukankah di sini lebih baik?"
"Dan bicara dengan orang yang bahkan tidak ku ketahui wujudnya. Aku bahkan tidak tau kau ini lebih tua atau muda dariku. Kau selalu menggunakan balmal tapi suaramu lebih berat dari seseorang yang seumuran denganku." Tutur Jihoon.
"Memangnya itu penting?"
"Bagi orang Korea itu tentulah penting." Balas Jihoon. Kembali kesal. Namun setidaknya dia bisa bicara dengan seseorang.
"Bahkan jika aku ini halusinasimu?"
Jihoon tidak membalas kata-kata beberapa saat. Kalau ini halusinasinya, dia tidak mungkin membuat tempat segelap ini. "Katakan dengan jelas!" Perintah Jihoon mulai melemah karena malas menanggapi.
"Aku adalah dirimu. Tempat ini adalah bayang-bayang dirimu. Pikiranmu yang menciptakanku. Aku tidak akan bicara jika bukan kau yang memintanya. Semua hal disini adalah alam bawah sadarmu."
Jihoon memutar bola matanya dengan jengah. "Kalau ini memang bayang-bayangku, aku akan lebih memilih tempat tenang dengan banyaknya alat musik untukku mainkan daripada berdiam diri ditempat gelap sampai tidak tau harus melakukan apa."
"Atau lebih baik aku pergi dari sini." Lanjut Jihoon. Setengah bergumam.
"Bukankah kau takut untuk kembali. Itu alasanmu tetap tinggal disini."
"Omong kosong. Aku ingin kembali. Aku ingin bertemu teman-temanku. Aku.."
"Merindukan mereka." Suara angkuh yang diikuti tawa berat pria itu menyulutkan api emosi Jihoon. Jika benar suara ini adalah dirinya sendiri, apa mungkin dia terdengar sangat angkuh dan menyebalkan seperti ini. Jihoon memikirkan itu.
"Tidak usah bicara dengan pikiranmu sendiri. Karena aku bisa mendengar semua ucapanmu."
"Hentikan omong kosongmu ini. Kau pasti sudah tau jalan keluar dari sini, cepat beritahu aku. Aku ingin keluar secepatnya dari sini!" Perintah Jihoon.
"Kau tidak takut seseorang pergi darimu?"
"..."
"Mungkin saja ketika kau sadar, seseorang akan pergi meninggalkanmu dan tidak mau menemuimu lagi. Seperti suara yang kau dengar beberapa waktu lalu. Suara lembut yang penuh dengan kesedihan dan keputusasaan."
"Aku yakin tidak akan ada yang meninggalkanku. Kalau sampai ada, maka yang pertama kali akan dia lihat dariku adalah kemarahan dan amukanku." Suara rendah Jihoon terdengar tidak percaya diri sampai suara tersebut tertawa untuk tingkahnya lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Lie
FanfictionKalau diberikan kesempatan untuk memiliki wajah cantik dan tubuh sempurna, apa kalian akan merasa senang dan beruntung? Mungkin sebagian besar jawabannya 'Iya'. Namun berbeda dengan Karmel. Gadis populer ini tidak menggunakan kesempurnaannya dengan...