Teo Renko Kumaran

120 33 6
                                    

Panggil saja Teo, Itu namaku. Satu hal yang pasti, aku hanya cowok biasa, mengenyam nasib sebagai anak dari Ibu yang galak, hasil dari Ayah yang paling sabar, juga punya adik yang sifatnya agak aneh.

Usiaku sudah menginjak 17 tahun. Sudah bukan bocah ingusan lagi, bukan bocah berambut mangkuk saat SD. SMA adalah jenjang pendidikan yang sedang kuayomi sekarang.

Dalam tiap tarikan nafasku, selalu terhirup aroma hujan yang berbaur dengan tanah. Aku mematung tepat di depan jendela kamar. Menangkap siluet hujan turun saksama di sana sini. rintik hujan yang jatuh merata di aspal jalan depan rumahku. Pikiranku layaknya kapal di laut lepas. Berlayar bebas tanpa hambatan.

Bogor adalah tanahku, tempatnya aku lahir. Tidak bisa dielakan bahwa kota Bogor adalah tempat paling ajaib di negeri ini. Tiap hari angin selalu membawa awan gelap untuk menyelimuti langit kota. Pertanda hujan akan mengguyur se-isi kota.

Hujan dapat aku tafsirkan sebagai tempatnya ketenangan berkumpul. Walaupun mereka keroyokan, tetapi saat menimpa atap rumah layaknya dentingan piano yang dimainkan, tuts yang berulang kali di tekan dalam irama konsiten.

Rasanya kepingan masa lalu memanggil-manggil di telinga. Ya, kenangan manis bersama gadis kecil yang tinggal di samping rumahku.

Waktu itu hujan turun dengan derasnya. Kakiku berjinjit dan melompat-lombat di genangan air. Ditemani gadis kecil bergaun putih, dengan renda di pucuk bawah gaunnya.

Tawa kami berbaur dengan derasnya hujan. Kami terikat oleh pesona rintik air hujan, seolah benar yang dikatakan sahabatku ini "kita adalah bagian dari hujan, sampai kapanpun kita adalah tetes terakhir dari rintikan hujan yang turun"

Menyisir seluruh bagian halaman rumahku, itu yang kami lakukan. Mengendap-endap, berpura-pura menjadi penjahat dengan memanfaatkan kerusuhan hujan. Kami dikagetkan oleh teriakan kami masing-masing saat bermain petak umpat. Aku suka bersembunyi di semak bagian barat rumah. Aku ingat betul, tempat favorit persembunyian gadis kecil itu, di teras rumah, di bawah kursi tidur rotan. Kami sangat senang ketika mengitari halaman rumahku sambil kejar-kejaran.

Kenangan itu di tarik kembali dari lamunanku. Saat ini pikiranku benar-benar kosong. Tidak ada yang menghantui hayalanku sementara ini. Kalau diingat-ingat rasanya aku ingin kembali merangkul kenangan manis itu. Sebelum ...

Gadis kecil itu menyambung kembali kenangan tadi. Dia---Si Gadis kecil itu. Tangan lembutnya menyapu dahiku, kudapati oleh kedua bola mata cokelatku orang tuanya sudah menunggu di rumah sebelah, berada beberapa langkah dari kami. Mereka mengepak barang-barangnya. Saat itu aku yakin ... bahwa dia akan pergi.

☆☆☆

Petrikor ya, hem ... aroma hujan.
Dear readers yang pengin mengingat masa lalu. Mungkin hujan adalah jawabannya.

Oath Petrichor #GrasindoStoryIncTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang