Pakaian basah kuyup, begitupun barang belanjaanku.
Pagi ini entah jam berapa, awan gelap kembali menyelimuti lagi kota, bak menjelang jam tujuh sore.
Aku menerjang badai hebat, angin lebat, hujan deras, suara gema petri mengisi seisi hutan di sisi jalan.
Pedal sepedaku tak perlu digayuh, sebab, landasan ini adalah jalan turunan.
Suhu semakin dingi. Aku menggigil, bersin.
"Kita neduh dulu nggak?" Suaraku gemetar, gigi saling menggelutuk.
"Jangan! Kelamaan pulangnya," larang Mia. Rambut kribonya turun menutupi tengkuk.
Sepanjang jalan ini. Tidak ada sama sekali toko-toko, kedai kopi ataupun rest area. Hanya ada pasar di puncak dan rumah penduduk di kaki bukit.
Sepanjang jalan ini, di jalan sisi kiriku dibatasi oleh gundukan tanah, ya, gunung maksudku. Gunung yang dikeruk menjadi jalan, aku takut kalau-kalau tanah itu lonsong menutupi jalan dan melahapku. Sedangkan di kiri dibatasi oleh beton tebal dan setelah beton adalah jurang. hanya di batasi besi. Setelah besi adalah jurang.
Roda sepedaku terus berputar, terciptalah cipratan air dari ban hitam.
Hanya udara dingin yang bisa menjadi asupaun sebagai sarapan di pagi ini. Rasanya aku terlalu berlama-lama di bawah hujan. Saat kecil, memang aku sering bermain hujan. Tapi untuk saat ini, tidak. Kulit telapak tanganku mulai keriput sebab kedinginan. Kami masih butuh 10 menit sampai 15 menit hingga bisa tiba di rumah.
"Kita ke kafe Cup dulu nggak, Han?" Sekarang Mia berada di sampingku dengan frame sepedah hitam, berkeranjang dan tampak besar.
Aku mengembus napas cepat, kedinginan. "Pulang dulu aja, ganti baju." Dengen gemetar.
Selama perjalanan, tidak ada mobil yang berlalu lalang. Hanya ada dua gadis bersepedah tengah menerjang jalan licin.
"Gua mampir ke rumah elu dulu, ya, Han."
Aku mengangguk. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut, tak kuat menahan gemetar di mulutku.
Dalam hujan, aku mengkhawtirkan Mama yang ditinggal sendiri di rumah, perutnya pasti keroncongan belum sarapan. Aku tak begitu mengkhawatirkan diriku, walaupun guntur menyambar.
Akhirnya petualangan kami berakhir.
Aku langsung membanting sepedah di halaman rumah. Cepat-cepat aku memutar kenop pintu bercat cokelat.
Mama tidak mengunci pintu ini, karena aku bilang bahwa aku hanya pergi sebentar saja. Tapi, nyatanya saat aku menginjakkan telapak kaki di dalam rumah lalu segera melirik jam dinding, jarum pendeknya sudah menunjukan angka 9. Berarti, dua jam aku keluar rumah. Bukan waktu yang singkat.
"Han, gua pinjem baju lu."
Jaket Mia lamgsung dilepas, ia tampak kedinginan, tubuhnya menggigil.
"Sana ke kamar mandi dulu, Mi. Nanti bajunya nyusul."
Tanpa ba bi bu Mia langsung melesat menuju kamar mandi.
Aku melangkah mendekati dapur, meletakan ikan di plastik itu di atas talenan dekat westafel. Ikan, lebih enak bila di masak saat masih segar bukan?
Aku melirik pintu bercat cokelat kayu tua yang terbuka setengah. Itu kamar Mama.
Apa Mama tidur sebab terlalu lama menungguku?
Aku membasuh tangan di keran westafel. Lalu mengeringkan telapak tangan dengan kain di atasnya.
Aku mengayunkan langkah mendekat. Perlahan kubuka pintunya dengan lebar.
Ada Mama, tengah duduk di kursi roda menghadap jendela, sepertinya ia tengah menunggu kehadiranku. Maaf, Ma, meninggalkanmu teralalu lama.
Aku mendekati, duduk di depan kursi roda Mama, melihat dari ujung rambut hingga ujung kaki Mama. Kedua kelopak matanya sama tertutup. Mama tidur sangat lelap.
Lihat kedua kakinya, putih pucat dan tak bertenaga.
Pakaiannya yang jarang ganti namun aroma yang sama selalu dihasilkan oleh tubuh Mama. Bukan bau keringat, melainkan, ya, seperti aromanya orang-orang tua.
Kembali menatap wajah Mama.
Sayup-sayup kedua matanya terbuka.
"Maaf, Ma, aku pulang terlalu lama," kataku sambil tetap duduk manis dihadapannya.
"Lho? bajumu basah? ganti baju dulu, nanti masuk angin."
Aku terkekeh. Mama tengah memarahiku, tapi, aku tak merasa bahwa Mama tengah memberikan aku peringatan keras.
"Mama laper nggak?"
"Udah, nggak masalah. Mama pikir Hana kenapa-napa di jalan. Mama khawatir. Udah ganti baju dulu!"
Bertapa mulianya hati Mama. Padahal aku sedang menghawatirkannya, namun, ia malah lebih mengkhawatiranku.
Ya, intinya kami saling mengkahwatirkan.Beruntungnya aku masih punya seorang Ibu.
Aku menggendong Mama ke kasur. Tubuhnya kecil, maksudku tidak lebih besar dariku. Kedua lenganya pun kurus. jadi, bukan masalah bagiku walaupun tak punya otot.
Sebelum aku meninggalkannya. Mama menggenggam erat tanganku.Kami saling bicara dalam diam. Hati kami terkoneksi dengan baik. Sama-sama mengatakan "tetap bersama, dalam kondisi apapun"
Hujan menyaksikan janji kami dari luar jendela yang berembun.
Mama adalah malaikatku.
Aku segera keluar dari kamar. Mama tersenyum manis dan segera menutup matanya kembali.
Entah Mama lapar atau tidak. Aku harus membuat sarapan secepatnya.
"Han?"
"Hana?"
Aku lupa bawa Mia masih berada di kamar mandi. Ia memanggil-manggil namaku dari kamar mandi. Mungkin ia sudah terlalu bosan menunggu di dalam.
"Iya, tunggu,"
Aku mempercepat langkah menaiki anak tangga dan segera mengambil pakaian ganti untuk Mia.
Aku mengetuk pintu kamar mandi.
Mia membuka kecil pintu itu, lenganya muncul dari balik pintu. Aku memberikannya.
"Bajunya muat nggak, Mi?" tanyaku setelah cukup lama di depan pintu kamar mandi.
"Muat, Kok."
"Oh ya, Han." Terdengar satu guyurun air dari gayung.
Mia membuka pintu kamar mandi.
"Gua udah masukin amplop di kantong plastik belanjaanya Teo."
☆ ☆ ☆
Amplop apa?
Vote, coment, and share :)
Ada yang nunggu cerita ini next ngga? :v (mau tau dong coment dibawah)
KAMU SEDANG MEMBACA
Oath Petrichor #GrasindoStoryInc
Teen FictionFiksi Remaja Danau di gurun pasir hanyalah bagian dari fatamorgana. Daratan di laut lepas hanyalah bagian dari cerita dongeng. Hati yang bimbang akan menyesatkan perasaan seseorang layaknya ilusi semata. Orang bilang 'cinta itu buta tidak dapat dili...