26. Teo : Kalau sudah tahu jam, pasti tahu arti menunggu

8 1 0
                                    

Apa aku salah orang? Gadis itu lari tunggang langgang bak melihat hantu. Aku menyusul langkahku, mendekati Yudi dan Maya.

Ini bukan tentang pertemuan pertama, tetapi pertemuan yang tertunda sembilan tahun silam. Sembilan tahun adalah waktu yang panjanga, jadi wajar saja aku lupa pada Hana. Dia bukan lagi anak kecil. Kita semua tumbuh, kan?

Aku mengusap kumis tipisku. Mengapa pertemuan kami begitu aneh? Maksudku, ya karena aku lupa padanya. Hana jauh lebih cantik sekarang.

Kalau Hana memang ingat padaku sejak kelas sepuluh, kenapa Hana tak menyapaku duluan? Malah acap kali mengendap-ngendap, mengamatiku diam-diam.

Atau mungkin ... ohya, kejadian awal masuk sekolah. Aku mengingat-ingat lagi saat Hana menyapaku ketika aku memarkirkan sepeda.

Aku melirik pada Yudi dan Maya. Tak ada yang dapat kucerna dari panjangnya obrolan mereka.

Tiba-tiba hujan turun deras, hingga para pemain basket dilapang kabur berhamburan.

Hujan berhasil membasuh bunga-bunga di taman serta.

Aku melirik atap gedung sebelah. Hujan jatuh menimpa genting secara bergiliran.

Aku mengaduh kesakitan saat Yudi memukul pundakku dengan keras.

"Ngelamun mulu!" bentak Maya padaku.

"APAAN!" Aku balik membentak dengan nada yang lebih tinggi.

Seketika Maya mengedipkan dua kelopak matanya. Dia terkejut sebab bentakanku. Lalu Ia berjinjit, meninggikan tubuhnya. "BIASA AJA KALI, NGGAK USAH NGEGAS!" Helaan nafasnya terengah-engah. Rahangnya tampak mengeras. Jangan ditanya tatapannya, sangat tajam.

"Apa Maya ... " ujarku lembut.

Ia menurunkan tumitnya. "Nggak jadi."

"Nggak jadi?"

Maya menatapku tajam sambil mendengkus.

Aku menatap Yudi, berharap Yudi yang akan menjawab. Namun pundaknya diangkat. Yudi tak tahu apa-apa.

"Gua ke kamar mandi, ya. Kalian duluan aja," kataku sambil belok kr kamar mandi. Aku ingin memastikan bahwa ponsel ini milik temannya Hana. Kalau aku perlihatkan terang-terangan ponsel ini kepada Maya dan Yudi, kebohonganku malah ketahan nantinya. Lalu nanti sore sehabis bel pulang sekolah, aku akan memberikan ponsel ini pada temannya Hana.

Maya berdecak. "Siapa juga yang mau nungguin lu. Hih."

Aslinya aku ingin menjawab, "Siapa juga yang mau ditungguin sama elu. Gua butuh Yudi, bukan elu!" Tapi aku telat sebab aku memikirkanya ketika sudah tiba di kamar mandi.

Aku membuka pintu setiap kamar mandi, memastikan bahwa kamar mandi tengah sepi. Beberapa saat setelah menggeledah ruangan, aku keluar kamar mandi, memastikan bahwa Yudi dan Maya tidak menguntit. Cepet-cepat aku merogoh ponsel Mia (itu nama akun Instagramnya) dari saku  celanaku. Ponsel  itu kini berada di genggaman. Tak lama aku meng-on kannya, memerikas untuk kedua kalinya, meyakinkan bahwa ponsel ini punya temennya Mia.

Tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka.

Aku terperanjat, langsung memasukan ponsel Mia ke dalam saku celanaku. Wajah syok-ku terpampang jelas diwajah seorang pelajar yang punya seribu jerawat diwajahnya.

Aku merapihkan rambut di depan cermin, membuat rambut ku lembab dengan air. Keran air di sebelahku menyala, siapa lagi kalau bukan cowok berjerawat itu. Ia mengibas-ngibaskan telapak tangannya setelah mencuci tangan. Ia melempar poninya kebelakang, lalu mengatakan, "Kalo nonton bokep, mending di dalam kamar mandi aja, Kak," ujarnya lalu melangkah menjauh.

"Bangsat!" sentakku padanya. Untung adik kelas.

Aku mengebrak westafel. "Bangsat," kataku dengan geram. Aku masih memandangi wajahku cermin. Aku membasuh wajah agar pikiranku lebih tenang. Air adalah peredam amarah. Aku sering melakukannya.

Bel berbunyi, namun bokongku masih tertancap di ruangan yang penuh nada. Gedung Musik Sekolah. Siapa lagi kalau bukan Maya dan Yudi yang aku tunggu? Walaupun aku tak berharap Maya ada di sini. Ingin rasanya melihat Maya bolos sekolah walau hanya sehari ketika aku sekolah. Tapi pernah suatu hari, aku sengaja bolos sekolah, basa-basi bilang ke ortu bahwa sekolah libur. Orang tuaku begitu mudah kena tipu anaknya, meraka percaya-percaya saja dengan ucapanku. Tapi, saat aku berniat bolos sekolah, mengapa Maya juga izin sekolah. Aku sudah melewatkan kesempatan satu hari tanpa Maya di sekolah. Tapi, Tak apa, setidaknya aku bisa menikmati bolos di rumah sendirian.

Bunyi pintu ruang musik itu terbuka dari dalam. Langkah kaki berderap keluar dari ruangan itu. Kelas musik sudah selesai sore ini.

Sepanjang koridor aku hanya mendengar ocehan dari Yudi dan Maya. Aku hanya jadi nyamuk.

Sore ini langit mendung, tapi tak kunjung turun hujan. Ada tugas yang perlu aku selesaikan sesegera mungkin. "Kalian duluan aja. Gua mau ketemuan dulu." Aku berdiri tegak saat berada di meja guru piket. Di sini adalah sudut strategis di mana aku dapat melihat pelajar yang masuk ataupun keluar dari sekolah.

"Mau ngapain?" tanya Yudi.

"Siapa sih yang mau lu temuin? Nunggu siapa? lu tuh jomblo. Lu nggak pantes cari cewek di sini. Sore-sore pula. Pamali."

Itu hinaan menyakitkan dari Maya. Aku tahu pernyataannya memang benar, tapi apa perlu dibeberin?

"Pokoknya kalian duluan aja."

"Oke," jawab Maya singkat.

"Tapi, Yo ...." Belum sempat Yudi melontarkan kalimat selanjutnya. Maya sudah menarik lengannya terlebih dahulu. Memaksa Yudi untuk pergi menjauh dariku.

Aku duduk di kursi setelah mereka hilang dari pandangan. Mendaratkan bokong didekat meja guru piket, bercat coklat dan cream di atasnnya. Maksudku, benar-benar ada cream di meja itu. Entah punya siapa. Guru-guru pun sudah pulang sepertinya.

Aku menunggu Hana untuk mengembalikan ponsel milik temannya. Siapa namanya?  itu takpenting. Yang jelas ia punyai rambut kribo yang sempurna.

Para pelajar berhamburan menuju gerbang sekolah. Tiap wajah aku amati dengan detail.

Lembayun angin semakin kencang, Hana tak kunjung lewat juga. Menunggu seseorang sebelum mengadakan perjanjian adalah hal yang buruk. ini pertama kalianya aku mengajak ketemuan seorang gadis. Sepuluh menit waktu normal untuk menunggu. Aku berdiri dari bangku, menatap tajam koridor-koridor gedung yang kini mulai kosong. Apa Hana sudah pulang?

Embusan angin mengantarkanku untuk lebih bersantai. Poniku terangkat, aku merapihkannnya kembali. Kulirik jam di pergelangan tangan. Jam kini menunjukan pukul 16 : 48. Hampir jam lima sore.

Aku mengelurakan ponsel Mia dari dalam tas, lalu menggenggamnya erat-erat.

Lenganku menepuk-nepuk paha. Ini jauh dari perkiraan. Menunggu itu melelahkan, membosankan. Tapi selama ini, selama hidup, aku selalu menunggu seseorang. Aku menengadah dan mengetuk-ngetuk meja menggunakan jari telunjuk. Lagi dan lagi memantau sekitar, berharap Hana lewat.

Sudah jam lima sore, tapi Hana tak kunjung datang. Aku memasukan ponsel itu ke dalam tas. Kalau sudah tahu jam, pasti tahu arti menunggu

Aku menatap bunga mawar merah yang subur dan terawat baik di depan ruang guru, tumbuh di bawah pohon mangga yang besar.

Kedua telapak tanganku menutup wajah yang kini semakin lelah menatap sekitar. Begitu aku menurunkan lenganku. Hujan turun dengan lebat. Mengguyur bunga merah yang tumbuh subur di taman.

Di mana kau, Hana?

☆ ☆ ☆
Tunggu-tungguan mulu ya mereka wkwkw

Oath Petrichor #GrasindoStoryIncTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang