47. Hana : Apa benar Mia menikungku?

3 0 0
                                    

Banyak orang yang berubah akhir-akhir ini. Tetanggaku lebih sering menyapa diriku saat berangkat sekolah. Ibu-ibu gendut yang suka berjemur di halaman rumahnya pun suka lari pagi di sepanjang trotoar.

Aku lebih sering melihat Mama mengamati jalan di teras dari pada mengintip dari jendela kamar. Kalau aku berangkat sekolah, ia langsung mengikutiku sampai teras sambil melambai sampai aku hilang dari pengamatannya.

Kebahagiaan setiap hari, secerah senyum mentari pagi ini. Awan tak memangis lagi. Saat tiba di depan rumah Teo, aku melihat dirinya tengah memakai sepatu hitamnya di depan pintu.

"Ayo, Yo," kataku segera bergegas. Aku tak lagi takut dengannya. Dia juga tak se-so-cool dulu.

Akhir-akhir ini juga, Teo tak lagi mampir di mimpiku. Mungkin sebab aku sudah dekat dengannya, jadi, tak ada rindu yang dipendam lagi sampai terbawa mimpi malam hari. 

"Minum bawa?" Aku menangguk. Kemarin aku lupa bawa minum ke sekolah. Padahal kemarin jam olahraga.

"Awas kalo ketinggalan lagi, gua enggak mau nganter balik ke rumah lu." Dia tertawa. Senyumnya lebih sering terlihat akhir-akhir ini. Rasanya hangat bila menatap wajah manisnya itu.

"Kemarin Ibu mau ke rumah Mama lu, cuman engga jadi, Han. Tiba-tiba dapet panggilan dari sekolahnya." Teo membuka pembicaraan.

"Oh ya, kenapa enggak janjian dulu?" Aku menaikan sebelah alis.

"Ah, suka-suka dia lah." Teo terkekeh.

Aku pun terkekeh juga. Ibunya Teo memang begitu. Keputusan dan kehendaknya tak bisa diganggu gugat. Mama pernah cerita padaku begitu. Ibu Oma itu agak mirip Maya. Cuman dia tak tomboy, tapi cerewetnya sama galaknya sama saja.

Di perapatan Maya muncul bersama sepedanya. Ia tak membunyikan lonceng untuk menyapa kami dari kejauhan. Ia semakin mendekat. Wajah murung tampak jelas ia pasang.

"Kenapa, May?" Aku yang tahu bahwa Maya yang biasanya cerewet, tetapi kini diam, mulai khawaitr.

Teo melirik ke seberang. "Yudi mana?" tanyanya.

Maya menggayuh sepedanya setelah seperkian detik tadi aku dan Teo menunggunya.

"Yudi sakit."

Aku kembali menggayuh sepeda menyusul Maya di sisi kirinya.

Aku menatap wajahnya yang murung itu, menunggunya untuk mulai bercerita. Namun, ia tak kunjung bercerita.

"Ayolah, May. Cerita ke kita."

"Sebenernya biasa aja, sih, sakitnya. Katanya cuman tipes."

Aku membulatkan bibir. Teo lebih memilih diam dan mendengarkan tanpa ekspresi.

"Katanya butuh istirahat seminggu juga cukup." Wajah Maya tampak semakin murung.

"Cuman tipes doang." Tiba-tiba Teo menyela.

"Tipes juga bahaya tau," timpal Maya.

Aku yang mulai merasakan bakal ada percekcokan di antara meraka, langsung kupindah arah pembicaraan ini.

"Weh, kafe Cup punya menu baru, loh."

Maya menaikan sebelah alis, mungkin dia tak suka arah beloknya pembicaraan ini. "Masa?"

Aku mengangguk-angguk.

"Tau dari Mia, ya?" tanya Teo.

Seketika aku bingung. Padahal bannernya belum di sebar. Aku menggagguk. "Kok elu tau, Yo?" Seharusnya hal ini masih rahasia, kan?.

Teo menarik napas sambil memasukan sebelah lengannnya ke dalam saku jaket. "Tau dong." Sekarang dia menyetir sepeda dengan satu tangan.

"Wah, lu sering chat-an sama Mia, ya, Yo?" timpal Maya. Sepertinya mood-nya sudah kembali.

Tapi, mengapa malah aku yang mood-nya turun drastis. Sebentar aku melongok mengahadap Teo. Apa benar Mia dan Teo sering chat-ing-an dan berusaha menyembunyikan sesuatu dariku?

"Han? Han?"

Aku mengedip-ngedipkan mataku.

"Kenapa?" tanya Teo khwatir.

Bola mataku menatap mobil sedan merah yang melintas dengan kencang. Mengapa aku berpikir negatif duluan. Mia itu sahabatku, mana mungkin dia menyembunyikan sesuatu. Dan lebih parahnya lagi, mana tega Mia mengambil Teo dariku. Dia, kan, orang yang paling tau kedekatan aku dan Teo itu seperti apa.

Aku menggeleng sambil memanyunkan bibir. "Engga papa," jawabku enteng.

Di depan sana, Mia berdiri sambil memegangi stang sepedahnya. Ada yang menarik rumah Mia, sepertinya gerbang rumahnya baru di cat subuh tadi. Terlihat dari sini bahwa cat-nya masih basah. Saat sepedaku semakin dekat dengan gerbang itu, mataku disuguhkan oleh cat warna-warni di tembok dengan aroma yang khas. Sepertinya rumah Mia sedang di renovasi.

"Rumah lu direnov, Mi?" tanya Maya basa-basi.

"Begitulah."

"Mau ada apaan emang?" Mata Maya hilir mudik menatap sisi-sisi rumah Mia yang beberapa bagiannya diganti dengan yang baru.

Aku melirik Teo yang sempat menyapa Mr. Pion yang tengah mengaduk semen. Mr. Pion memberikan senyum terbaiknya; ada cabai goreng disela-sela giginya. Teo tak tertawa sediki pun, sedangkan aku cengengesan sebentar.

"Kenapa?" Mia melongok padaku yang tengah cengar-cengir.

Aku menggeleng, lalu menarik napas untuk menetralkan suasana hati. Oh ya, aku ingin bertanya pada Mia. Mungkin nanti. Setelah Teo tak bersama kami lagi.

☆ ☆ ☆

Cie, Hana ditikung wkwkw

Tinggalkan votmen :)

Oath Petrichor #GrasindoStoryIncTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang