"Untuk kalian para anak muda yang sulit bergaul. Punya teman hanya itu-itu saja. Tapi, tetap berfikir positif. Mungkin ... " pria itu mengelus dagunya. "Tuhan sudah mempersipkan teman terbaik yang selama ini tak kamu sadari, padahal dekat dengan kita. Yang setiap malam mampir di mimpi. Sepanjang cerita hanya ada hujan, hujan, hujan dan hujan. Hujan adalah saksi dua kisah dua remaja ini."
Ia berdiri dari kursinya. Sambil memperbaiki kacamatanya, lalu lanjut berbicara. "Hampir 80% seorang penulis punya ide dalam karyanya dari kisah di real kehidupannya. Begitupun juga dengan saya."
Ia kembali duduk. "Sejujurnya, novel ini menceritakan ... "Ia mengangkat satu novel. Sampulnya berwarna biru langit. Dan ada gambar empat gedung saling berhampitan. Tampak terlihat apik dan simpel.
"Tentang dua remaja, berpisah saat kecil dan kembali bersama saat SMA. Ini cerita yang gila. Gimana sih rasanya jatuh cinta untuk pertama kali, dan untuk orang yang selama ini ditunggu-tunggu. Kalau benar teman-teman sekalian diposisi meraka, apa yang kalian rasakan?" Ia kembali mengangkat novel itu. "Semuanya tertuang di dalam novel ini."
Bising hujan tak lagi terdengar lagi sebab gemuruh tepuk tangan meriah dari para pendengar memenuhi langit-langit kafe Cup. Sesuai janji, sehabis pulang sekolah kami akan mampir di cafe Cup-cup.
"Boleh juga," ujar Mia sambil menyeruput coklat panasnya perlahan.
"Iya, bukunya kayaknya bagus," jawabku yang memang suka membaca dari kecil. Entah mengapa buku itu bak punya kisah yang mirip dengan aku dan Teo.
"Apa sih judulnya, susah banget dieja." Maya menyergah.
"Elu mau beli nggak, Yud?" Dari tadi hanya Maya yang bergeming. Mia di sebelahku sibuk membuat story di instagram.
Aku meletakan gelasku di meja. Sesekali melirik Teo. Sedari tadi dia diam sambil menyesap cokelat panasnya.
"Enggak ah, gua nggak suka baca," jawab Yudi ketus.
"Dih, elu mah."
Kadang-kadang aku berfikir. Sebenarnya Yudi dan Maya pacaran atau tidak. Pokoknya aneh saja, tak seromantis orang lain. Mungkin berpacaran seperti itu lebih luwes atau apalah, yang jelas meraka bahagia. Aku tidak bisa berkomentar jauh tentang meraka. Aku belum begitu kenal. Aku harap pertemanan ini semakin baik kedepannya.
"Oh ya, kalau dipikir-pikir, kok cerita novelnya, mirip sama cerita hidup Hana sama Teo sih? kalian teman dari kecil kan? terus ... terus ketemu lagi sekarang," ujar Maya.
Aku bungkam. Pipiku memerah. Apa memang seperti ini sifat Maya suka nomong tanpa disaring. Aku benar-benar kikuk sekarang.
"Cuma kebetulan," jawabku tegang. Mencoba tebas analisa Maya yang cukup masuk akal. Aku kembali meneguk cokelat panasku untuk menghindari ketegangan.
"Ya, engga lah."
Ada apa ini? sekarang Teo juga kikuk. Walaupun ia berusaha tenang. Tapi wajahnya tidak bisa di sembinyikan. Lihat, pipinya mengembang.
Teo meletakan gelasnya di meja. "Lagian, gua nggak suka sama Hana."
Mendadak ada pisau yang menacap di hatiku. Siapa sangka Teo akan mengatakan itu. Wajahku pucat pasi sekarang. Hilang sudah rona di pipiku ini.
Ternyata selama ini aku salah, aku hanya ke-ge'eran saja. Mana mau sih Teo punya pacar jelek sepertiku.
Jadi ... seperti ini kah rasanya jatuh di lubang yang sama? tak ada tanya-jawab lagi di meja bundar yang kami tempati Semua terpaku dengan ucapan Teo barusan.
Teo meminum coklat di gelas dengan cepat. Bahkan ia bagaikan tidak merasakan panas di mulut. "Gua ke kamar mandi dulu, ya," katanya sambil menjauhi meja.
Aku mengaduk-aduk coklat panas di gelas. Menatap wajah jelakku yang berputar-putar di dalam gelas. Semakin lama aku mengaduk, semakin larut ucapan itu menusuk lubuk hati yang paling dalam.
Seharusnya dari dulu, dan seharusnya dari dulu aku mendengarkan ucapan Mia yang menekankan pada sebagian diriku bahwa aku itu jelak. Teo bukan orang yang tepat bagiku. Dia hanya orang yang pernah hidup di masa lalu, kembali di masa depan. Dan dia tetap menjelma sebagai teman.
Yang dapat aku nilai dia saat ini adalah, cowok so cool, so ganteng, rambutnya sok kekinian, padahal batok lebih bagus saat itu. Dan mahal senyum. Tidak pernah tertawa, membuat aku yang memujanya selama ini baru sadar bahwa aku begitu bodoh.
"Sabar, ya, Han." Mia mengelus pundakku. Rasanya aku ingin menangis sekarang.
Aku mengalihkan pendangan saat mendengar tamparan. Segitunya Maya merasa bersalah hingga ja menampar bibirnya berulang kali. Rasanya aku yang jadi merasa bersalah.
"Maaf, ya, Han, gara-gara gua. Gua minta maaf, May. Maaf .... " Maya benar-benar memohon maaf.
Aku melambali tangan. "Enggak, May. Elu enggak salah. Malah gua berterima kasih karena elu udah ngebiarin Teo ngungkapin isi hatinya yang selama ini dugaanku salah. Dan gua bersyukur elu bikin gua sama Teo kikuk." Aku berusaha tetap tersenyum, menahan turunya air mata menyelip di ujung-ujung mataku.
"Gua suka sama Teo. Tapi, gua nggak pernah tahu, Teo suka sama gua apa engga. Dan elu, May. Elu membantu mempercepat jawabannya. Makasih, ya, May."
Maya menggenggam gelasnya sedari tadi. "Sory, ya, Han." Ia terus meminta maaf. Lalu Maya mendekatiku. Ia merangkulku dengan erat.
Aku menarik napas dalam-dalam untuk mengatur emosi kesedihanku. Jangan menangis, Hana. Jangan menangis ....Tapi, tak kuasa aku menahan perih mataku sebab membendung air mata ini. Akhirnya kutumpahkan semuanya pada pundak Maya. Isakanku sangat pelan. Masa bodo dengan Yudi yang melihatku sebagai gadis lemah seperti ini.
Sebelah tangan merangkulku, lalu mengelus pundakku pelan. "Tenang Han, gua selalu ada di samping lo," kata Mia.
Sore ini saat hujan turun lagi, aku mendapatkan pelajaran baru. Cinta yang baik, tak boleh hanya punya satu kubu yang merasakannya.
Aku kuat, tenang saja. Jangan khawatirkan aku teman-teman.
☆ ☆ ☆
Hana :"""""(
KAMU SEDANG MEMBACA
Oath Petrichor #GrasindoStoryInc
Ficção AdolescenteFiksi Remaja Danau di gurun pasir hanyalah bagian dari fatamorgana. Daratan di laut lepas hanyalah bagian dari cerita dongeng. Hati yang bimbang akan menyesatkan perasaan seseorang layaknya ilusi semata. Orang bilang 'cinta itu buta tidak dapat dili...