11. Teo : Selamat bersenang-senang diriku

32 7 4
                                    

Apa yang ingin mereka cari dariku?

Aku memalingkan wajah ke belakang, melirik gadis yang mematung itu.

Tatapan miliknya mengingatkan aku pada seseorang. Ya, gadis kecil yang sering hujan-hujanan bersamaku dulu.

Aku mengayun langkah, meninggalkan pasar sesak.
 
"Semua barang belanjaanya komplit?" Ibu menyambut saat aku tiba di parkiran. Ya, beginilah kalau tidak ada anak perempuan di rumah. Aku yang selalu menjadi target Ibu untuk melaksanakan pekerjaan anak perempuan.

Sesekali aku mengusap dahi sebab berkeringat, suatu tantangan telah berhasil keluar pasar dari zona ramai. Aku ingat, di pasar sumpek itu ada wanita berlemak lipat ganda. Lemaknya tak muat untuk menyalip dikeramaian pengunjung. Tubuh besar itu adalah penguasa jalan, sampai-sampai aku pun kena sundul perutnya.

"Kamu yang nyetir, oke! taati perintah orang tua." Ibu menyerahkan kunci mobil padaku. Ingin rasanya menelantarkan Ibu di sini. Tidak, bercanda. Bisa-bisa uang jajanku berkurang.

Jangan kaget bahwa aku bisa mengendarai mobil. Lagipula ini lebih mudah dibandinga bermain game helixjump, ya, game bola mendal-mendal yang sangat sulit dikendalikan itu. Tapi aneh, Yasir amat jago memainkannya. Atau aku yang terlalu payah?

Sejujurnya, ini bukan kali pertama Ibu membabuku belanja.

Ibu mengajarkan banyak hal tentang bagaimana cara menjadi pria hebat dengan aktivitas perempuan. Katanya, kalau aku bisa melakukan hal yang kebanyakam dilakukan para kaum hawa, berarti aku lulus dinyatakan sebagai seorang pria. Maksud dan tujuan Ibu melakukan hal ini belum tertera nyata dengan matrai di kertas. Hanya kata iya dan iya lagi-lagi ya yang bisa aku jawab saat ibu membuat rengkarnasi perjanjian.

Aku tidak mau kena kutuk hanya gara-gara tidak mau disuruh belanja ke pasar.

Ya, Ibu memang begitu. Ia mendidikku agar menjadi orang yang punya pandangan berbeda. Akibatnya Yasir, jadi ketularan. Dari segi pandang Ibu, memang ia pikir itu hal yang patut di coba. Tapi aku tersiksa karena ibu hanya memandang satu sudut saja. Ah, sudahlah, tidak baik menjadi pembangkang.

Terdengar nyaring denting tetes hujan di atap mobil yang aku kendarai. Padahal baru saja mentari tersenyum lebar. Secepat itu awan hitam memudarkan senyumnya.

Lagu The Beatles penny lane di putar dalam perjalanan pulang.

Ibu pencinta lagu-lagu jadul.  Namanya juga otang tua, wajar-wajar saja. Lain lagi denganku, dari dulu sampai sekarang tidak pernah bisa menikmati alunan musik.

"Bentar lagi 'kan kamu UN ...." Ibu memulai pembicaraan.

Aku menurunkan volume musik. "Masih lama, Bu. Semester satu aja belum selesai," jawabku dengan menerka-nerka bahwa Ibu akan berceramah panjang lebar.

Supaya telinga tidak panas, kubuka kaca jendela mobil dan membiarkan udara sejuk merasuki pikiran. Aku yakin Ibu punya banyak materi dakwah yang sering ia dengar di televisi untuk berceramah.

"Maksudnya, kamu udah kelas 12, sekolahnya yang rajin. Jangan bolos-bolosan. Ibu nggak mau liat kamu leha-laha. Ibu memang lebih sibuk di luar, tapi ...!" Ibu meninggikan suaranya. "Jangan macem-macem. Oke!"

Ban serep menimbulkan khas suara seiras di telinga.

"Ibu nggak pengin lagi denger kamu ikut nongkrong-nongkrong bareng geng motor kayak pas SMP dulu!"

Aku bukan anak nakal saat SMP, hanya ikut-ikutan temen saja. Untungnya Ibu cepet-cepat menarikku kembali. Dulu memang terasa menyenangkan bila bergabung bersama mereka, terlebih lagi aku adalah anak yang kurang mendapat perhatian dari kedua orang tua, juga, tipikal orang yang sulit mencari kawan. Terjerumus dalam ikatan geng motor itu merupakan kenikmatan tersendiri sebab duniaku jalas terasa bebas.

Oath Petrichor #GrasindoStoryIncTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang