46. Teo : Kalian itu orang yang baik hatinya

7 2 0
                                    

"Teh satu, Mas," pintaku. Aku membeli Teh hangat untuk menghindari ke-4 temanku yang tengah duduk di sana sama saling diam.

Sekarang orang-orang kantin memperhatikanku setelah kejadian barusan. Kejadian saat aku menggertak salah satu anggota Osis, tampaknya mengudang para penggosip untuk mengunjingku diam-diam.

Aku tak suka dengan perlakuan anak-anak Osis itu. Terlebih lagi pada cowok yang menggoda Hana. Untung saja aku masih dapat menahan emosiku. Lagi pula aku sudah berjanji pada Ibu untuk tidak menghajar anak orang lagi seperti masa SMP dulu. Setelah membeli, aku melesat kembali duduk di samping Yudi. Kulirik ke-empat temanku yang sama mengaduk-aduk minumannya.

Aku menyandarkan tubuhku di punggung bangku sambil meneguk teh hangat.

"Kalau begini terus, mending nggak usah sekolah," desah Maya. Ia menatap kosong gelas tehnya.

"Ke kafe Cup? mau?" tanyaku.

Mereka semua melirikku dengan tatapan malas, kecuali Maya. Dia melirikku dengan antusias. "Betul, ke sana aja. Di sana, kan, ada penghangat ruangan. Jadi, gua nggak perlu pakai jaket ini lagi."

Sejujurnya usulanku barusan hanya untuk menggubris kesunyian. Tapi Maya menanggapi serius. Aku suka saat mereka bicara, aku suka mendengar tawa kami sepanjang jalan menuju rumah. Walaupun, aku yang paling diam. Menampakan seolah aku yang paling tidak antusias. Nyatanya, aku adalah orang yang paling suka kalau mendengar mereka bercerita. 

"Bolos jam pelajaran? Engga deh kalau gitu," tolak Hana.

Keputusanku adalah keputusan Hana. Kalau Hana tidak mau, aku langsung membatalkan ke kafe Cup.

"Lagian enggak akan ada guru, Han. Tenang aja," ujar Yudi.

Ohya, mana mungkin bisa menerjang hujang kalau berpakaian sekolah. Kalau basah bagaimana?

"Nggak jadi. Lihat, hujan masih deres. Nanti malah baju kita yang basah." Menurutku itu jawaban yang baik untuk mendukung Hana agar tak ke kafe Cup.

"Lah, tadi kan elu yang ngajak, Yo. Gimana sih?" Yudi mengerutkan dahinya.

"Yaelah cuman gerimis doang ini tuh," tambah Maya.

"Oke, gua ikut."

"Mia!" Hana menggertaknya agar tak terhasut.

"Lu, Han, gimana? ikut nggak?" tanya Mia.

Hana menimbang-nimbang. "Enggak deh," tolaknya.

Kalau Hana tak mau. Ya, terpaksa aku juga tidak berangkat.

"Tapi ... kalau kalian kekeh mau ke sana. Ya, gua terpaksa ikut."

Jujur. Aku tidak menghasutnya. Dia sendiri yang mengambil keputusan ini. Apa kabur dari sekolah adalah moment pertama kali bagi Hana? sepertinya ia agak ragu-ragu.

"Oke ambil tas kalian. Nanti kita ketemu di pagar belakang sekolah. Oke," perintahku sambil berjalan mendahului mereka.

"Apa? tunggu, Yo. Yakin mau bawa tas?" sudah aku duga. Pasti Hana ragu-ragu. "Bentar lagi kita UN. Gua nggak mau nilai gua jelek karena ketahuan kabur dari sekolah."

"Cuman untuk hari ini aja kok, Han," ujarku.

"Emm ... kafe Cup lumayan jauh loh. Kita ke sana hujan-hujanan, kalau kita sakit gimana?" lagi-lagi Hana ragu. Kalau sakit ya, tinggal beobat saja.

"Hujan itu air, Han. Bukan paku." Aku tertawa padanya.

"Udahlah cepetan," ujar Mia. Lalu ia dan Hana belok naik ke gedung seberang.

Begitupun juga dengan aku, Yudi dan Maya.

Sesampainya di kelas.

"Woy, kalau ada guru yang nyariin kita. Bilang aja izin. Tadi udah bilang ke guru piket," ujarku pada teman sekelas yang sama ributnya bak pasar.

Maya mengepak barang-barangnya. Dia yang tampaknya paling gusar.

"Ayo cepat, May," bentakku.

Maya memutar bola mata.

Oke, tahan-tahan. Jangan sampai aku dan Maya berantem.

Kami melempar tas kami dari jendela. Menuju pagar yang ada lubangnya. Ya, tidak ada siapa-siapa. Buku? aku tidak mengkhawatirkan tentang itu. Sebab, aku tidak membawa satu pun buku. Tak lama kami menuruni anak tangga. Menyusuri lorong, hingga sampai di kantin.

Ya, tepat. Mia dan Hana sedang mematung di sana. Astaga, suruh siapa mereka menggendong tasnya. Bisa-bisa ketahuan kalau kami pengin kabur dari sekolah.

"Aduh, tas kalian kok di gendong gitu. Nanti ketahuan sama bibi-bibi kantin."

Mia dan Hana saling tatap.

"Yaudah, nggak papa. Berarti kalian siap besok di panggil guru BK," peringatku pada mereka sambil berlalu.

"Tas kalian di mana?" tanya Mia.

"Ada, kok," jawab Yudi.

Mereka membuntutiku. Kami memutar lewat belakang sekolah menuju tembok yang punya lubang. Aku menggendong tasku di pundak. Tasku sudah basah, apalagi dengan seragamku. Satu per-satu dari kami keluar dari lubang tembok itu.

Yang terakhir adalah Hana. Aku tepat di belakangnya.

"Yo, yakin kita nggak bakal kenapa-napa?"

Aku mengangguk. "Elu percaya sama gua, kan? kalau elu percaya, gua juga percaya, kita nggak bakal masuk ruang BK, kok."

Sempat kami bertatapan lama. Tatapan yang hangat. Bola mata Hana, bergerak-gerak. Mengamat tiap daerah wajahku. Apa yang dipikirkannya mungkin sama sepertiku. "Kami sama-sama percaya."

"Ayo," gubrsiku. Pandangan Hana langsung buyar. Ia segera masuk melewati lubang.

Baru pertama kalinya aku mengajak Hana berbuat buruk. Kalau terjadi sesuatu, salahkan aku saja, Hana. Kamu tak punya hak untuk bersalah.

Setelah semua berhasil keluar, aku menutup lubang itu dengan triplek.

Jarak ke kafe Cup dari sekolah lumayan dekat. Ya, 10 menit sampai kalau jalan kaki.

"Untuk kesekian kalinya gua kembali jadi badgirl," ujar Mia setelah menarik nafas panjang.

"Untuk pertama kalinya, gua bisa diterima oleh teman-teman yang baiknya seperti kalian," kata Maya sambil merangkul Yudi. Ia memasang senyum simpulnya.

"Untuk kesekian kalinya, Yudi ngehasut gua buat kabur dari sekolah lagi." Yudi tertawa. Kami pun tertawa juga.

Aku menarik nafas panjang. "Untuk ke sekian kalinya, sikap badboy gua kembali." Aku melirik Mia. Mia sudah banyak bercerita panjang tentang teman-temannya di amerika waktu itu. Tenang kebebasannya bermain malam-malam, dan masih banyak lagi. Tak salah aku berteman denganya saat ini.

Hana menarik nafasnya. "Untuk kenangan yang hampir menghilang. Untuk keseribu hari lamanya, gua bisa merasakan hujan-hujanan lagi bareng temen waktu kecil." Hana melirik padaku sambil tersenyum.

Aku membalasnya dengan senyuman juga.

Untuk kesekian kalinya, hujan menjadi saksi setiap adegan kehidupan yang tak tahu kapan berakhirnya cerita persahabatan kami.

☆ ☆ ☆

Author juga mau punya temen macam mereka. And i have. Makasih banyak FK7 untuk setiap kenangannya :)

Oath Petrichor #GrasindoStoryIncTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang