16. Hana : Sepertu burung yang ingin lepas dari sangkar

25 6 2
                                    

"Pasti ada di sekitar sini, Han." Mia menungging, bokongnya naik dan turun. Kedua lengannya mengeledah bunga-bunga di taman tepatnya di depan ruang lab komputer. Sebuah payung biru menanunginya. Pagi ini hujan turun lagi, tak terlalu deras, hanya gerimis.

Aku berdiri di sisinya. Aku dan Mia tengah mencari ponselnya yang terjun bebas dari lantai tiga sabtu kemarin. Matanya amat tajam, rahangnya mengeras seperti menahan amarah, mungkin kesal karena setengah jam berlalu tak kunjung juga ponselnya ditemukan. Sejujurnya aku malu, setiap sorot mata pelajar yang melintas menatap penuh tanya, menilai kami aneh. Melirik ada dua gadis bak tengah mengais cacing di taman, satu gadis tengah menungging dengan payung biru, dan satu gadis dengan payung hitam tengah berdiri membalas setiap tatapan yang meliriknya. Untung saja Pak Mugi sedang keluar sekolah. Ia berangkat beberapa menit yang lalu. Jadi, tak perlu khawatir lagi dengan sapu terbangnya.

Aku memerhatikan lenganku yang mulai berbentol serta kelima kuku jariku yang kotor. Sepertinya di antara bunga-bunga ada ulat bulu yang sudah menyebarkan bulu-bulu gatal.

"Padahal hape itu baru gua beli tiga bulan yang lalu." Ia mengembus napas, kedua lengannya kembali mengobrak-abrik akar-akar bunga kertas. Sesekali menggaruk rambut, Ia kelimpungan. Kasihan Mia, gara-gara cowok-cowok osis itu,  Sekarang nasib sengsara tengah memborgol dirinya.

"Jangan nyerah, Mi. Hape lu pasti ada. Atau mungkin? jatohnya di sebelah sana?" 

Kami pindah tempat.

Mia mulai menggeledah bunga-bungaan lagi. Sepatu hitamnya sudah menyimpan kandungan air hujan dan kaos kakinya basah sempurna.

Rasanya ingin membantu lagi, namun lenganku semakin gatal bila menyentuh bunga-bunga di taman. Ingin rasanya segera ke kamar mandi, tapi kasihan bila Mia ditinggal di sini sendirian walau pun hanya sebentar.

Aku berkacak pinggang, menatap punggung Mia yang tampak basah karena payungnya tak menaung sempurna. Pandanganku beralih ke sisi lain, di mana cowok-cowok osis---sebut mereka "parasit"---tertawa riang memerhatikan Mia yang sedari tadi menungging. Mereka tengah duduk-duduk di teras koridor kelas bawah. Memang jaraknya jauh, namun gairah tawa untuk menggoda hormon mereka terdengar nyaring dan menjengkelkan.

Ea!

Ea!

Ea!

Mereka mengucapkan serempak sambil tertawa-tawa. Aku muak.

Mia sangat fokus dengan apa yang ia cari. Aku kasihan padanya. Ia tak menghiraukan mereka, kefokusannya tetap pada pencarian ponsel. Tak mungkin aku meninggalkan ia sendirian di sini.

Sesekali aku menggaruk lengan hingga menambah bentol dan semakin memerah.

Mia menggeser kakinya menuju sisi lain. Angin berembus kencang, tubuhnya terhuyung, untung saja tangannya berhasil menompang tubuh.

Cowok-cowok sialan tertawa geli melihat Mia yang hampir terjatuh. Mereka memang tak tahu diri, seharusnya mereka yang harus bertanggung jawab. Mereka suka menyengsarakan orang lain, dan mencemooh adalah keahlian mereka.

"Mi, berdiri!" pintaku agak keras.

Mia menatapku, lalu berdiri sambil celangak-celinguk.

Serempak cowok-cowok itu mengatakan, "Yahhh!"

Aku menunjuk cowok-cowok itu pada Mia dengan menaikan alis. Mia memutar pandangan, tertuju pada cowok-cowok osis itu. "Oh ...." Mia memutar bola matanya, merasa bodo amat.

"Nggak masalah ...." Mia kembali menungging.

Mia membiaskan anggapanku. Tak apa, yang penting aku sudah memberi peringatan.
 
Mia kembali sibuk menggeledah bunga-bunga itu, namun hasilnya nihil. Aku menatap gedung lantai tiga, tepat di mana salah satu dari cowok sialan itu menjatuhkan ponsel Mia. Kuperkirakan bahwa ponsel Mia pasti akan retak.

Oath Petrichor #GrasindoStoryIncTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang