Duduk di kasur, lalu kembali menuju ruang kumpul keluarga. Menyalakan televisi, gonta-ganti chanel. Off-in televisi. Kembali ke kamar, buka ponsel, tidak ada pesan. Kembali ke ruang keluarga, menyalakan televisi, mematikan televisi. Kembali ke kamar. Beranjak ke ruang kekuarga sambil membawa ponsel, dan membiarkan televisi terus bersinar. Bosan!
Nasib menjadi bujangan. Khalayak kebanyakan remaja, nongkrong-nongkrong di pinggir jalan, menyanyiakan lagu dengan gitar. Suara seadanya, nada yang keluar bagai mikrofon rusak.
Tidak denganku. Diam dirumah, menghabiskan waktu sendirian. Tidak suka mendengarkan musik, menghindari sosialisasi. Itu wajar menurutku. Lagipun menjadi anak jalanan bukanlah tipikal cowok yang dipandang baik-baik oleh orang lain. Ya, begitulah aku dulu. Sepertinya hujan-hujan begini enak juga dibawa ngelamun.
Kira-kira lima tahun yang lalu berjalan hingga tiga tahun selanjutnya, menjadi anak sok saat masa SMP adalah pengalaman terbaik sekaligus terburuk.
Akal pendek, di ajak teman ikut ini-itu, bodohnya aku manut-manut saja. Mau kemana kita? kalimat yang sering aku dengar dari mulut-mulut para banci di sekolah.
Mengadakan pertarungan di jalan ramai. Apa gunanya lempar-lemparan batu? habis itu pulang, ketawa-tawa tanpa merasa berdosa. Sampai kapanpun peradaban tauran tidak akan pernah maju kalau bertarungnya begitu.
Itu dulu, aku yang sekarang jelas beda. Dulu rambutku di cukur habis pinggirnya, mohak. Itu pengalaman gila yang menghantui ingatan sampai saat ini. Menjadi dewan anggota legislatif angkatan tauran pada masa itu adalah tugas yang ketua berikan padaku. Cukup mudah, hanya perlu baris di bagian depan dan maju-mundur maju-mundur saja. Simpel bukan? sirklus tauran itu tidak serumit logaritam dan geometris. Asal bisa menghitung berapa jumlah anggota dan mengira-ngira apakah bisa menang adalah rumus yang kami gunakan.
Aku benar-benar tersesat waktu iti. Untung saja, Ibu rajin berceramah. Hatiku tidak langsung luluh seketika. Namun, lambat laun aku menerima lapang dada. Menanam ucapan itu baik-baik di dalam lubuk hati. Lihat, itu Ibuku. Dia sedang memberi nasihat kebaikan. Bukan untuknya, tapi untukku.
Waktu terus berputar. Aku kembali ke kamar setelah mengotak-atik kuburan di tangan, tidak ada satu pun pesan yang muncul di ponsel.
Aku menumpu dagu menatap hujan di luar dari jendela. Hujan tetap turun tidak henti-henti. Ibu tak kunjung menampakan batang hidungnya. Aku sudah terlalu bosan menatap layar ponsel sedari tadi. Menguap, lamat-lamat mata mengantuk. Walau posisi masih dalam tumpuan dagu.
Aku mengedarkan pandangan. Ada dua orang berteduh di bawah pohon mangga di seberang jalan rumahku. Terparkir dua sepeda juga di sampingnya. Ah, tampak samar.
Tiba-tiba ponselku berdering.
"Oy! Yud?" Aku menjawab dengan sahutan.
"Yo, lu ada di rumah?" Yudi menggigil, giginya saling menggelutuk.
Aku menguap. "Iya."
"Gua mau ke rumah elu, gua mau numpang neduh. Baju gua basah kuyup. Ada Maya di sini. Kasihan, dia kedinginan."
Jujur, yang tadinya aku merasa iba mendengar bahwa Yudi kedingian sebab hujan-hujanan, tapi, setelah ia menyebut nama Maya---setan ajaib---rasa ibaku sirna. Aku yakin, niat Yudi menyebut Maya 'kedinginan' agar aku mengasihaninya. Tapi, pikiranku sebaliknya.
Aku mengerutkan dahi. "Oke, posisi?"
"Di seberang rumah lu,"
Aku kembali menatap jendela. Memantau dua orang di depan sana. Astaga! Ternyata orang yang sedari kutatap adalah Yudi dan Maya. Sebab kehalangan hujan, mereka hanya terlihat remang-remang dari balik jendela. Ditambah lagi kaca jendela ini kotor.
KAMU SEDANG MEMBACA
Oath Petrichor #GrasindoStoryInc
Ficțiune adolescențiFiksi Remaja Danau di gurun pasir hanyalah bagian dari fatamorgana. Daratan di laut lepas hanyalah bagian dari cerita dongeng. Hati yang bimbang akan menyesatkan perasaan seseorang layaknya ilusi semata. Orang bilang 'cinta itu buta tidak dapat dili...