Ada seseorang. Berdiri di tengah hujan badai.
Wajahnya tampak samar. Hujan menutupi wajahnya.
Ia mendekat.
Derap langkahnya tak terdengar.
Aku menyipitkan mata untuk menatap lebih jelas siapa pria di sana.
Seiring langkahnya mendekat, semakin awan hitam menyurut.
Sekarang, hanya ada rintik hujan. Mendung sudah pulang ke sarang.
Semburat cahaya mentari menyelip dari balik sela-sela awan.
Sinarnya menyorot wajah pria itu. Hidung mancungnya, wajahnya yang selalu santai, membuat nyaman ditatap.
Sinar mentari mengiringinya, bak lampu sorot yang mengikuti kemana langkahnya.
Semakin dekat.
Semakin dekat.
Aku dapat mendengar derap langkah sepatunya.
Jas hitamnya yang apik. Menampilkan sosok pria dewasa yang menarik.
Ia berhenti melangkah saat berada tepat di hadapanku.
Embusan nafasnya terdengar kuat di jalan yang sangat sepi ini.
Ia melambai padaku. Dia bilang, "Apa kabar, Hana?"
Bip-Bip-Bip!
Aku membuka kelopak mata Seperti biasa, mataku langsung disuguhkan pemandangan baling-baling kipas yang berputar di langit kamar seperti hari-hari sebelumnya.
"Aku berangkat."
Pagi ini aku sudah bisa kembali masuk sekolah. Untuk berjaga-jaga, aku memasukan jas hujan di dalam ransel. Angin melambai rambutku saat menunggagi sepeda. Sesekali kuhirup napas dalam-dalam. Udara pagi ini hangat, udara yang bertamu ini mungkin hanya sehari betah satu hari saja.
Sinar mentari memantulakan cahaya keperakan pada dedaunan yang habis ditimpa hujan semalaman. Jalanan pagi ini tak begitu ramai. Dari beberapa rumah yang aku lewati, penghuninya duduk santai di bawah sinar mentari di halaman rumah mereka. Aku menengadah. Langit pagi ini biru, tampaknya awan telah disapu bersih.
Mataku disuguhkan kembali oleh rumah bercat hijau lemon. Itu rumah Teo. Aku melambatkan gayuhan sepedah. Bagasi rumah itu sudah terbuka. Ada Pak Trisman tengah ... entahlah, tak tahu apa yang ia lakukan. Dia hanya mondar-mandir melihat tiap inci body mobil silvernya.
Tak lama pintu rumah itu terbuka muncul seseorang dari balik pintu. Ya, adiknya Teo yang berambut batok. Pintu itu dibuka semakin lebar. Dan muncullah seseorang yang amat aku kenal. Sejenak kami beratatapan. Tatapan sayu itu mengingatkanku bahwa dia memang Teo yang aku kenal. Hanya beberapa detik kami menikmati tatapan itu.
"Itu pacar aku. Hai sayang?"
Aku mengernyitkan dahi. Sayang? apa Teo mengajari adiknya bilang seperti itu? Aku menutup wajah dengan sebelah tangan. Malu sekali rasanya dilihat Teo seperti ini. Tandas aku langsung menggayuh sepedah dengan kencang.
Lambaian tangan Yasir terngiang di kepalaku. Senyum manisnya, berbeda dengan Teo. Ahh ... mengapa aku baper? Jangan dipikirkan lagk, Hana. Apa sih yang anak-anak seumurannya pikirkan? mungkin Teo yg menyuruhnya tadi. Kalau Teo menyuruh Yasir bilang 'sayang' padaku, berarti Teo sama saja bilang 'sayang' padaku. Pipiku mengembang seketika.
KAMU SEDANG MEMBACA
Oath Petrichor #GrasindoStoryInc
Teen FictionFiksi Remaja Danau di gurun pasir hanyalah bagian dari fatamorgana. Daratan di laut lepas hanyalah bagian dari cerita dongeng. Hati yang bimbang akan menyesatkan perasaan seseorang layaknya ilusi semata. Orang bilang 'cinta itu buta tidak dapat dili...