34. Teo : Rencana perbaikan

8 1 0
                                    

Aku berdiri di depan wastafel sambil menggosok piring-piring kotor. Bukan masalah bagiku melakukan ini. Toh, kulitku tidak akan mengelupas. Didekatku ada pisau tajam, sewaktu-waktu kalau ada kecoa yang keluar dari lubang westafel bisa langsung kutusuk.

Hujan turun lagi malam ini, ikut menemani malamku yang sunyi.

Aku kembali ke ruang keluarga saat selesai mencucu piring. Seperti malam-malam sebelumnya, Ibu, Ayah, dan Yasir, mata mereka disihir untuk terus menatap layar televisi. Padahal acara televisi tersebut paling aku benci. Ayah dan Ibu mengajak Yasir menonton. Tau apa yang mereka tonton? acara anak-anak remaja, cinta-cintaan. Sudahlah, aku mengalah. Nyatanya aku orang yang paling waras di rumah ini.

Sesekali saat Persija main dan disiarkan pada malam hari, kami nonton bareng. Ya, hanya malam tertentu saja aku bisa melihat siaran televisi. Kadang-kadang aku menyalakan televisi di tengah malam. Tak rela meninggalkan pertandingan liga inggris juga Laliga. Saat itu aku benar-benar menikmati bahwa televisi itu hanya milikku seorang. Walaupun terkadang Ayah juga bangun dengan tujuan yang sama denganku

Kalau pengin melihat siaran pertandingan bola, mending tengah malam. Laliga, liga inggris lebih seru. Kata Ayah saat aku masih SD.

Hampir setiap malam aku ngalong. Ya, saat ada pertandingan bola saja. Kadang dengan Ayah kadang juga sendirian.

Sudah jam sembilan malam. Mereka masih berada di depan televisi. Malam ini mending aku tidur cepat saja.

Aku langsung ke kamar. Menarik selimut, membalut tubuh agar tetap hangat. Belajar? Tidak perlu. Walaupun minggu depan ada UAS. Ya, nilai anjok pun tak apa. Yang penting aku lulus. Dan mendapat nilai matematika sempurna. Semoga saja.

Bunyi gemerincing dari ornamen gantung di teras rumah itu, terpasang di sudut plafon kanan dekat bunga-bunga cantik yang menggantung.

Aku berdiri di tengah jalan. Menghadap rumah yang tampak begitu tua itu.

Angin berhembus kencang. Poniku tehempas ka sana ke mari.

Begitupun juga ornamen ayam itu. menimbulkan bunyi yang sangat khas.

Tring-tring-tring!

Benda itu terhempas kesana-kemaari.

Lalu berhenti.

Kemudian angin datang kembali, datang lagi. Bunyinya nyaring di telinga. Seperti teriakan orang yang pernah aku kenal. Perempuan kecil itu.

Bunyinya memekakan gendang telinga.

Semakin kencang

Semakin kencang

Semakin kencang

Semakin kencang

Mataku hilir mudik menatap dedauan yang ikut rusuh diterpa angin.

Aku menutup kedua telingaku.

Memejamkan mata dengan kuat. Aku takut, tubuhku bergetar.

Seketika angin berhenti.

Sangat tenang.

Oath Petrichor #GrasindoStoryIncTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang