29. Hana : Banyak hikmah pasca kemalanganku

8 1 0
                                    

Kakiku tak beralas saat menginjak daun-daun kering sepanjang tanah ini.

Kicau burung mengisi langit-langit. Semilir angin mengempas helaian rambut panjangku.

Para burung beterbangan di atas. Saling menjaga jarak dan keadaan satu sama lain. Tak lama meraka hinggap di dahan pohon-pohon besar.

Kicuannya bergantian, sangat seiras. Aku melangkahkan kakiku menyusuri belantara hutan ini.

Burung-burung itu hinggap di mana-mana. Anehnya, tak satupun dari mereka yang memilkki bulu berbeda, cokelat muda.

Namun, perlahan kicauan itu semakin kencang. Kicauan mereka bertabrakan. Ada yang tak beres di sini. Gendang telingaku ingin pecah. Kicauannya semakin tak keruan.

Angin semakin berembus kencang. Angin tak membelai rambutku kembali, melainkan merusak tatanan rambut ini.

Dedaunan ke sana ke mari, angin berhasil menerbangkannya. Aku menjerit ketika sebuah dahan pohon besar tumbang di hadapanku.

Aku terlonjak hingga tersungkur ke tanah lembab.

Napasku terengah-engah. Seluruh isi hutan jadi pora-poranda. Tatapan mataku berkeliaran. Melihat seisi hutan terbang oleh angin seperti ini membuat tubuhku bergetar ketakutan.

Aku memejamkan mata. Rasanya gaun putihku di poles angin kencang berulang-ulang.

Tiba-tiba aku dikejutkan dengan genggaman tangan seseorang yang menggengam tanganku.

Aku membuka mata.

Serentak keadaan kembali normal. Badai tidak lagi merusak segalanya.

"Selamat pagi," ucap Teo menyapaku. Senyumnya sangat manis menghatkan.

Pelan-pelan aku membuka mata, menatap samar kipas angin di langit atap kamar. Kipas yang sama tiap kali aku bangun tidur dan menatapnya setiap pagi.

Mama tertidur di kursi roda. Kepalanya bertumpu di punggung kursi roda. Melihatnya seperti ini, jadi merasa bersalah. Pasti Mama menunggu aku bangun.

Aku turun dari kasur. Tadi malah sepertinya aku tidur tenang, sebab selimut yang membalut tubuhku tak acak-acakan.

Telapak kakiku menepel di dasar lantai. Rasanya dingin. Aku mengibaskan rambut kebelakang. Kutatap mentari dari jendela kamarku yang berembun. Langkah kakiku bergerak perlahan. Berjinjit pelan ke luar kamar. Harap-harap Mama tidak bangun sebab mendengar derap langkahku. Aku menuju dapur untuk membuat sarapan. Kulirik jam dinding di ruang keluarga. Ternyata sudah jam delapan pagi, pasti gerbang sekolah sudah di tutup.

Kini, langit-langit tiap ruangan menari aroma masakan yang tengah kumasak. Aku memotong wortel di talenan, hentakannya memberikan kehangatan, apa lagi suara dari adoanan tempe yang dicelup ke dalam minyak panas.

Mama sudah mau menjagaku. Imbalan apa yang perlu aku balas? jasanya sempurna membimbing anaknya ini. Aku sudah menjadi gadis yang pandai memasak berkat Mama. Sejak Mama dan Ayah bercerai, aku meneguhkan diriku untuk hidup mandiri. Jadi, aku yang akan menjaga Mama dari pagi sampai langit gelap.

Sebelum Ayah meninggalkan kamu, nyaris hidupku tak berguna. Aku ingin bunuh diri waktu itu. Mendengar obrolan kasar, kencang, caci-maki mereka membuat gendang telingaku berasa ingin pecah.

Oath Petrichor #GrasindoStoryIncTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang