20. Hana dan Teo

7 3 0
                                    

Malam ini aku duduk di balkon rumah, hanya aku seorang. Bulan mengintip malu-malu dari balik awan. Hujan sudah berhenti turun dua jam yang lalu.

Jo berjalan mendekat. Bulunya yang hitam tampak mengkilap saat tersorot lampu dari atap balkon. Ia mendaratkan pantat kecilnya di sampingku.

Kejadian di ruang BK tadi pagi, membuat separuh harapanku hilang akan dirinya.

Aku menghela napas. Entah ini hanya permainan semata atau memang benar Teo berniat untuk melindungiku.

Aku menggigit bibir bawah, seandainya aku bisa langsung tanya pada Teo. Tumpukan buku di meja pelajaran matematika menunggu giliran untuk segera dibaca. Besok ada ulangan, jadi perlu ada persiapan.

Setiap menulis rumus dan berusaha mengingat tiap deretan angka, pikiranku malah menelusuri kejadian kemarin. Akhirnya aku berhenti menulis, belajar kali ini hanya sia-sia saja. Aku menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Pikiranku lagi kacau. Materi yang telah dibaca tidak tercerna sedikit pun.

Aku mendongak untuk melihat langit malam lagi. Dalam heningnya kegelapan, yang hanya disinari lampu pijar di balkon ini, terdengar suara jangkrik mengisi langit-langit malam yang tampak bolong oleh luka.

Jo naik ke atas meja. Lalu telengkup menatapku. Aku tersenyum, mengelus Jo dengan lembut.

"Jo ... aku rindu seseorang yang tinggal diribuan kilo meter jaraknya."

Selamat malam, Teo. Rasanya aku ingin melupakan semua kejadian pagi ini dan berharap bahwa pagi ini tak menyimpan banyak rasa kecewa.

Di ruang makan yang hangat

Cuap-cuap mengisi seantero ruangan.

Rumah itu sumpek oleh para orang-orang tua yang sedang menghidupkan kenangan masa lalu.

Aku duduk bersama mereka.

Ada Mama dan Ayah. Yang jelas, ada Teo di sampingku. Ia tertawa saat satu suap sendok jeli-jeli dilahapnya.

Aku pun tertawa sambil menutup mulut. Sangking lucunya, sampai-sampai kedua mataku tertutup rapat.

Saat kembali membuka mata, meraka hilang dari ruangan ini. Hanya ada kekeh pelan dariku yang mengisi ruangan makan malam itu.

* * *

Pertama-tama kututup pintu kamar rapat-rapat, lalu duduk di bibir kasur sambil membuka sebuah amplop.

Ini adalah amplop ke sekian belas yang aku terima tanpa nama pengirim. Amplop ini kutemukan beberapa hari yang lalu dari kantung plastik belanjaan di hari minggu. Untung saja Ibu tak tahu bahwa ada amplop yang menyelip di antara sayur-mayur barang belanjaan, lebih tepatnya Ibu belum mengecek belanjaannya sore itu.

"Teo, ini aku. Apa kabar? Ternyata Jakarta bukan kota yang menyenangkan. Aku akan tetap menunggumu. Sampai kapan pun."

Lagi-lagi menanyakan kabar. Kulipat surat itu, lalu kuselipkan di dalam buku tebal di rak.

"Jakarta, ya." Aku melamun sambil merebahkan tubuh di kasur.

Padahal Jakarta itu kota yang pengin aku sambangi, ada orang yang harus aku temui di sana.

Oath Petrichor #GrasindoStoryIncTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang