7. Teo : Selamat menikmati musik sore

26 6 0
                                    

Aku melirik ke arah jendela kelas. Ada yang tengah mengintaiku dari dari luar. Pasti mereka ... ah, sudah pasti itu mereka. Dari tadi aku duduk di bangku dengan punggung agak membungkuk. Menunggu kedatangan kedua temanku sungguh membosankan. Siapa yang tidak jengkel dengan mereka. Ya, mungkin aku saja. Asal diingat-ingat langkah kedua kaki mereka sama lambatnya bagaikan dua ekor siput yang sedang mesra-mesraan di acara pernikahan. Jujur, aku geli bila mendengar gombalannya Yudi kepada Maya. Tidak kupungkiri, itu gombalan basi, bahkan Yasir pun tahu gombalan seperti itu sebab sering nonton serial sinetron di televisi.

Entah sudah sampai mana mereka, ataukah mereka baru sampai kantin? padahal sebentar lagi jam isturahat akan selesai.

Aku mengetuk-ngetuk meja dengan jari telunjuk kesekian kali. Kulirik gadis-gadis tengah berolahraga di luar sana. Di sisi lapangan banyak cowok-cowok anak osis terus memperhatikan gerak-gerik dari gadis-gadis itu.

Kelasku berada di gedung lantai tiga. Bersyukur bahwa aku tidak menetap kelas di gedung lantai pertama. Pokoknya lebih enak kelas di atas.

Tiba-tiba terdengar suara petir yang sangat kencang. Aku terperanjat dari kursi, begitupun para pelajar di kelas ini. Ada yang menutup telinga dan ada juga teriakan histeris. Aku menatap para gadis di lapangan, gerakan olahraga mereka berhenti sejenak.

Langit memang tidak mendung. Tapi, datangnya petir seperti ini bukan menjadi hal yang aneh. Langit kota Bogor, sudah sering merasakakan petir menyambar tiba-tiba.

"Yo?"

Aku menoleh.

Akhirnya kedua siput ini sudah tiba.

"Lu pesen soto 'kan?" Mia meletakan satu satu bungkus soto di mangkuk sterofom. "Makan."

Tanpa aba-aba lagi, aku langsung lahap soto itu. Soto Ibu Niah memang soto terbaik di negeri ini. Masakan Ibu tidak ada apa-apanya dibandingkan soto yang terhidang hangat di depanku.

"Oh iya, sore ini kita ada jadwal latihan kelas musik, Yud," kata Maya. Padahal Mulutnya masih penuh soto.

"Iya," jawab Yudi singkat.

"Mau duluan pulang atau nungguin kita selesai, Yo?" tanya Yudi padaku, lalu melahap satu suap soto.

"Nunggu kita sampe kelas musiknya selesai aja ya, Yo. Please. Habis itu nanti kita ke kafe Cup. Oke." Maya benar-benar pintar merayuku. Ia tahu betul apa yang aku inginkan.

Aku mengangguk.

"Iya nggak, Yo? setuju 'kan?" tanya Maya.

Aku mengangguk lagi.

"Yo, jawab, dong!" Tiba-tiba Maya nge-gas.

"Dari tadi gua ngangguk. Elu nggak liat?" sergahku.

Selalu saja ada yang membuatku ingin menjitak Maya berkali-kali. Ia paling suka membuat emosiku naik.

"Itu yang elu sebut ngangguk? nangguk lu tuh nggak jelas, samar, nangguk tuh pake tenaga! kayak gini, nih." Mia mengganguk seperti gadis-gadis di lapangan yang tengah angguk-angguk melakukan pemanasan sebelum olahraga. "Gitu!"

Maya menguliahiku? astaga, anak TK pun tahu caranya mengangguk, Maya.

Kalau sedang bicara dengan Maya, lebih tepatnya diuji mental olehnya, satu kunci yang harus aku pegang 'sabar'.

"Iya," kataku dengan senyum pada si setan pencabut nyawa itu.

* * * *

Seperti biasa, sore ini hujan kembali turun. Sudah menjadi rutinitas wajib bagi awan untuk menurunkan hujan di kota ini.

Langkahku berderap di sepanjang lorong gedung lantai dua.

Yudi dan Maya tengah mengobrol mendahukuiku. Sedangkan aku, nyamuk. Jadi jomblo yang tidak kenal umur adalah suatu hak bagiku untuk tetap bisa merasakan kebebasan tanpa dikekang oleh pacar.

Aku bukan orang yang memperoritaskan berpacaran itu penting. Memang wajar bila manusiawinya seseorang untuk menyukai orang lain. Tergantung dari niat sendiri-sendiri. Kalau aku, bukan tipikal anak zaman sekarang yang suka mesra-mesraan, menurutku itu tidak penting.

Cukup suka dan diam. Soal jodoh, sudah ada yang ngatur.

Tidak lama lagi kami akan memasuki pintu merah tua kelas musik. Pintu yang punya dua jendela bulat.

Yudi membuka pintu itu lebar-lebar.

Yang pertama kali aku lihat di dalam ruangan itu adalah panggung megah. Berdirilah gadis-gadis paduan suara dan beberapa pelajar cowok di atas panggung itu.

Nyanyian mereka bagaikan menyambutku untuk segera masuk. Dan suara hujan deras di luar tidak lagi menyumpal di telinga.

Sekarang jam 15.30. Satu setengah jam kedepan aku akan duduk di kursi penonton.

Terpaksa mendengarkan alunan musik.

Padahal aku ... aku tidak suka musik.


☆ ☆ ☆

Untuk para pembaca budiman, aku pengin ngasi info sedikit tentang cerita ini (bocoran cerita :v)

Alur dari cerita Oath Petrichor bergerak sangat lambat, jadi readers pasti jenuh membaca cerita ini. Betul?

Raeders ngga akan menemukan konflik berat dalam cerita ini.

Tapi ... bagi readers yang suka mengingat-ingat masa lalu bersama kawan-kawan, hujan-hujanan barang-bareng, dan termasuk orang introvert, mungkin cerita ini cocok untuk dibaca oleh kalian.

Dan readers tau kenapa author sengaja membuat jalan cerita ini dengan alur yang lambat?

Selamat berlibur akhir tahun :)
Jangan lupa tinggalkan vote dan komen di bawah.

Terima kasih

Oath Petrichor #GrasindoStoryIncTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang