18. Teo : Kafe Cup-Cup dan cokelat

12 3 0
                                    

Aku berjalan gontai mengelilingi setiap ruangan, sesekali mengucek mata. Mabuk? Bukan, aku baru bangun tidur.

Sempat aku berhenti di ambang pintu dapur. Di atas meja dapur terdapat piring-piring kotor dengan cemilan kecil dan gelas susu terisi tinggal setengah, menandakan Yasir telah meninggalkan meja makan.

Tampaknya hanya tinggal aku seorang di rumah, tak ada yang membangunkan padahal mentari sudah memanaskan bumi . Jam 9 pagi, aku melirik jam dinding yang dipasang ditembok ruang keluarga, di atas televisi, bukan waktu yang tepat untuk berangkat sekolah sebab  sudah ketinggalan dua jam pelajaran. Aku yakin Yudi dan Maya bertanya-tanya mengapa aku bolos hari ini. Tapi, pasti mereka tahu bahwa aku belum bangun.

Lebih baik sarapan terlebih dahulu, kemudian mandi setelah itu tidur kembali, atau mungkin membereskan rumah. Acap kali Ibu menyuruhku membersihkan rumah, menyapu, mengepel, mencuci piring dan hal lainnya seharusnya di lakukan oleh gadis rumahan. Lekaki rumahan? Desirku.

Sambil melahap makanan, aku melamuan. Duduk di kursi dan menyantap sarapan membuat jenuh. Ibuku adalah seorang guru di sekolah SLB dan Ayah bekerja sebagai manajemen akuntan di kantor. Biasanya ia pulang larut malam dan kembali pergi di pagi buta. Sedangkan adikku masih TK selalu berangkat pagi ke sekolah. Ibu bilang agar Yasir tak pernah ketinggalan pelajaran sedikit pun,  jangan seperti kakaknya yang pemalas nan bodoh ini.

Aku mengambil handuk setelah makan, lalu menuju kamar mandi. Akhirnya aku tidak kuat berada di dalam sana, laki-laki tidak sama dengan seorang perempuan yang butuh satu setengah jam untuk mandi. Sebenarnya apa yang dikukan para perempuan saat di kamar mandi?

Guling, bantal, selimut tergeletak di lantai kamar. Seganas itulah aku ketika tidur. Aku mulai mencari pakaian di dalam lemari. Hampir saja handukku terlepas dari area kejantananku sebab terlalu kasar mengobrak-abrik pakaian. Walapun aku tahu tak ada seseorang pun selain diriku di dalam rumah, barang kali para tetangga tengah mengamatiku dan meneror dari kejauhan untuk mengintip sang pangeran ini.

Tiba-tiba ponselku yang tergeletak di kasur bersinar dan bergetar. Aku segera mengambilnya. Oh, Yudi menelepon.

"Yo? Yo? Woy! jawab!" panggil Yudi.

"Apaan?" jawabku meninggi. "Sekolah udah telat."

"Gak ada yang nyuruh lu sekolah. Dicariin nih sama Maya."

Alisku saling bertautan. "Masa Maya nyariin gua? Ngga diakal banget."

Sejak kapan gadis itu ingat dengan diriku?

"Gua sama Maya lagi di Kafe Cup-Cup, mumpung jam istirahat, gua udah makan coklat yang baru, enak, emm," katanya dengan nada menggoda.

"Oke, gua ke sana," ujarku dengan sigap.

"Jang ...."

Aku memutus sambungan, jangan sampai aku ketinggalan menu baru di sana. Dengan cepat kaos oblong dan celana pendek dikenakan.

Aku menggayuh sepedaku di jalan setapak lalu belok di gang kecil yang kumuh. Kafe itu cukup dekat dengan rumahku dan juga sekolah, jadi wajar saja bila mereka berdua begitupun diriku suka mampir ke sana ketika jam istirahat---walaupun itu dilarang pihak sekolah. Biasanya kami kabur lewat pagar belakang. Pagarnya reyot, disundul kucing pasti rubuh. Tantangan besarnya adalah bagaimana cara kita lewat tanpa merusak pagar itu.

Sebentar lagi sampai. Aku menuntun sepedaku ketika melewati kaca kafe Cup-Cup. Tatapanku aneh saat melihat gelagat dua orang di dalam. Aku berhenti melangkah, angin pun berhenti bertiup, seolah bunyi jangkrik di mana-mana. Tampak seorang gadis tengah membekam mulut anak laki-laki dengan tangan kekarnya. Tak lain mereka adalah kedua temanku. Maya tampak bagaikan gadis berandalan seperti yang pernah aku bilang,  sebagian dari kemayunya seperti sudah di ambil alih oleh gender lain.

Aku masuk sesudah meletakan sepedahku di antara dua rongga bangunan cafe cup dan toko sebelahnya.

Aku menggenggam kenop pintu lalu membukanya. Alangkah nikmatnya aroma khasnya yang menyebar ke setiap sudut ruangan dan langit-langit kafe. Aroma cokelat yang tiada tara menggugah selera.

Aku duduk di kursi khas di kafe itu yang dipenuhi warna cokelat ditiap dinding ruangan, bahkan kursi ini tampak bagaikan wafer beroleskan cokelat lumer.

Hari ini pelanggan sangat ramai, obrolan hangat terdengar seru ditiap meja pelanggan. Pembukaan menu baru masih hangat didengar oleh para pelancong penikmat cokelat, jadi wajar-wajar saja kafe ini penuh. Termasuk kami, penjarah cokelat.

Aku menatap kedua wajah temanku yang sama berpaling. "Kok, kalian pada diam?" tanyaku heran.

Tanganku bersedekap di meja. Aku menoleh pada Yudi. Ia menatapku kembali. Tapi tidak bagi Maya. Setiba aku masuk kafe. Ia terus memandang kaca besar kafe. Hey, meraka bisa melihatku dengan jelas dari sini saat aku di luar tadi.

"Engga," jawab Maya singkat sambil merubah posisi duduknya, memadangku sayu.

"Udah pesen menu belum?" tanyaku kembali.

"Udah, Yo," jawab Yudi.

Tak lama setelah bertanya, tampak seorang pelayan membawa nampan menuju meja kami. Ia mendaratkan nampan itu dan meletakan tiga gelas coklat di meja. "Selamat menikmati," katanya dengan tersenyum.

"Minum, Yud, May." Aku meneguk cokelat itu, cokelat gelas yang hangat juga nikmat. Kuletakan gelas itu setelah kusesap minuman cokelatnya.

Heran, meraka berdua tampak tak napsu menyentuh gelas tersebut. Aku yakin mereka sedang bertengkar. Ya, namanya juga pacaran. Kalau tidak pernah bertengkar aneh juga 'kan.

"Dari tadi diam mulu," kataku lalu meneguk minuman cokelat.

Maya mendelik cepat, menatap wajahku tiap inci. Bola matanya bergerak-garak.

"Gua ultah," Maya masih menatap tajam.

Aku terperangah lalu meletakan gelas itu di atas meja. Bodoh! "Ohya, May?" Aku benar-benar kaget. Senyum simpul aku tampakan, sesekali mengusap mulut. Aku benar-benar lupa.

"Ohya." Aku gagu. Apa yang bisa aku katakan.

"Iya, kita tadi sempet nungguin lu lama banget, coklat itu seharusnya kita minum bareng," jelas Maya sambil menggaruk tengkuknya.

Aku menatap Maya serius.

Aduh, merasa sangat bersalah kalau begini. Aku berdeham. Seharusnya Yudi memberitahu ketika ditelpon tadi.

"Mau pesen apa? gua yang beliin." Aku tidak tega melihat wajah Maya dengan senyum yang terlihat dipaksakan. Ia barusaha tidak menampakan lekuk diwajah.

"Gua aja yang beli." Yudi meninggalkan meja, langkahnya cepat, menghampiri etalase di sana.

Sekarang hanya aku dan Maya dalam kesunyian dan perasaan bersalah. Aku mengetuk meja menggunakan jari telunjuk. Benar-benar canggung. Aku menggeser gelasku jauh-jauh. Maya tidak mengamati tingkahku. Ia sibuk mengaduk coklat panasnya, melamun. Aku khawatir padanya.

"Gua ke kamar mandi, ya," ujar Maya.

Aku gusar. Ngangguk-ngangguk saja.

Kuperhatikan langkahnya yang semakin jauh, lalu hilang dibalik tembok. Sekarang, hanya tinggal aku seorang. Aku kembali mendekatkan gelas di depan wajah. Kupandang isi gelas yang telah aku sesap, juga sekalian meratapi rasa bersalah. Maya tampaknya sangat kecewa.

Baru pertama kali aku melihat Maya semurung itu. Sejauh ini, senyum dan amarahnya sering tampak dihadapanku. Untuk kali ini tidak. Dia lebih ingin menyembunyikan amarahnya.

Gadis yang pemarah itu pasti amat kecewa. Ah, bukankah Maya gadis yang tangguh? masa hanya begitu saja dia menangis. Tapi jika benar ia menangis aku sangat perlu minta maaf. Aku tak pernah tahu bahwa hati perempuan selemah itu.

Aku masih memerhatikan gelasku. Oh, bahkan cokelat yang panas ini akan dingin bila didiamkan.

☆ ☆ ☆


Oath Petrichor #GrasindoStoryIncTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang