8. Hana : Bukan sore keberuntungan

22 8 0
                                    

"Habis lulus SMA mau lanjut kuliah atau kerja, Mi?" tanyaku.

Mia tampak bingung, lantas  mengernyitkan dahi.

"Gua, ya, i dont know," jawabnya sambil mengangkat pundak.

Mia menarik nafas dalam-dalam.
"Biar takdir yang ngatur," katanya.

Aku terkekeh.

Mia benar. Tak perlu berfikir yang jauh, paling-paling aku hanya menjadi seorang istri yang siap mengurus anak-anak kelak nanti.

Hujan turun sore ini, menggumpalkan awan hitam di langit kota Bogor. Aku melirik pada ruang-ruang kelas yang sepi di sisi kiriku. Gedung sekolah sudah hampir kosong. Sepertinya saatnya hantu yang bersekolah.

Tiba-tiba ponsel Mia berdering, memecah heningnya lorong gedung di lantai tiga yang kami lewati.

Ia merogoh saku baju, lalu mengatakan, "Halo?" Mia menerima panggilan telepon.

"Bentar lagi juga pulang," kata Mia.

Aku tak dapat mendengar kalimat si penelpon dengan jelas, derasnya hujan menyumpal pendengaranku.

Tak ada angin sore ini, tak ada jingga, hanya ada hujan.

Langkahku berhenti tepat di depan pintu merah yang punya dua jendela bundar. Ya, seperti pintu-pintu di dapur restoran. Tapi, ruangan ini bukan tempatnya untuk makan malam dan makan-makan berkelas.

Ini ruangan musik.

"Mia!" panggilku. "Sini!" Mia terlalu asik dengan si penelpon, ya, aku melihat ia tertawa. Bebarapa kali bahasa inggris terselip dalam percakapan itu. Mia berhenti melangkah. Walaupun ia masih tetap bertelepon.

Aku mendekatkan wajahku pada salah satu jendela itu. Kuedarkan pandangan ke penjuru ruangan yang hanya dapat terlihat dari sini.
Sekiranya sepuluh orang tengah berdiri di atas podimum, sebut saja itu panggung. Ya, memang itu panggung.

Aku dapat melihat kedua temannya Teo dari sini. Yudi menjentikan jari-jarinya di tuts piano, sedangkan Maya termasuk dalam dua belas paduan suara itu. Ia berdiri di belakang sebab tubuhnya yang tinggi dan ramping. Benar-benar diatur sedemikian rupa agar tampak rapi.
Secepat petir menyambar, ada yang menatapku.

Kalau ada mereka, pasti ada Teo. Ia duduk di bangku penonton. Sebelah kakinya terangkat dan satunya menumpu. Ia tampak ... bosan. Atau memang begitu?

Secepat petir menyambar, Teo melirik ke arah pintu ini. Mungkin ia sadar ada yang tengah memperhatikannya. Segera aku menjauh dari jendela. Harap-harap Teo tak melihatku dengan jelas dari sana.

"Ea ... ea!" teriak sesorang.

Tubuhku berputar 180 derajat.

Astaga, Mia tengah digerumuti oleh cowok-cowok pengganggu.

Mia marah-marah, kedua tangannya dikepal. Ia berjinjit-jinjit berusaha meraih ponsel miliknya yang digenggam tinggi oleh cowok berambut ikal salah satu dari cowok-cowok osis itu.

Ada yang lebih gila lagi selain melihat kemarahan Mia.

Cowok berambut ikal itu melempar ponsel Mia pada teman yang lainnya---cowok berkulit putih pucat. Ia menjinjing ponsel Mia di ujung beton pembatas lorong kelas. Kuduga, ia akan menjatuhkan ponsel Mia dari ketinggian yang bukan main ini.

Aku mengayunkan satu langkah kaki. Nasi sudah jadi bubur. Telat aku memeringati cowok itu. Ponsel Mia sudah terjun bebas.

"Fuck! Fuck!" Mia memaki-maki cowok itu. Ia mendorong tubuh cowok berambut ikal dihadapannya. Mia langsung melihat ke bawah, ke manakah kira-kira ponselnya jatuh.

Aku tak bisa apa-apa. Langkah kali keduaku tertahan. Sejujurnya aku ingin berteriak, memeringati mereka, memaki-maki, merobok semua bibir mereka. Apadaya, pikiranku hanya angan-angan. Mereka sudah pergi duluan. Meninggalkan kebencian yang semakin aku pandang bahwa mereka benar-benar bajingan. Ini bukan kali pertama aku dan Mia diperlakukan seperti ini, mereka sering menggangu, entah, padahal aku dan Mia tak pernah melalukan hal-hal aneh.

Aku masih menatap kepergian mereka. Merasa berdosa? tidak, mereka tampak senang. Bahkan sangat senang.

Aku kembali menatap Mia. Aku tahu ia kesal. Siapa sih yang nyaman diperlakukan seperti ini?

Tidak ada.

Langkahku kembali berayun segera mendekati Mia yang tengah bingung.

"Ponsel gua," gumannya terus menerus sambil melihat ke bawah gedung.

Belum sempat aku mendekati Mia. Ia langsung menuruni anak tangga yang berlawanan arah dengan cowok-cowok osis yang ingin aku bakar hidup-hidup itu.

"Pelan-pelan, Mi," peringatkanku.

Cara melangkah Mia sangat cepat, bak orang kesurupan.

"Pelan aja, Mi. Hati-hati." Aku menyusul dari belakang.

Langkahku sama cepatnya dengan Mia. Walaupun sebenarnya aku takut jatuh. Tapi, aku tak tega melihat temanku seperti ini.

Derasnya hujan menambah suanana tegang. Irama mereka turun bagaikan detik yang harus kami tempuh secepat mungkin.

Aku sudah berada dilorong kelas bawah. Bukan main, Mia tak mengurangi kecepatan langkahnya.

Aku kaget ketika ia menerjang hujan yang deras. Sebegitukah ia sampai-sampai tampak sangat mekhawatiran. Seperti orang yang tengah kebingungan, ya, itu yang aku lihat dari Mia sore ini.

Sesekali Mia mendonga sambil berjalan, mengira-ngira di manakah kami saat di atas lantai tiga dan kemana ponsel itu mendarat.

Tak mau menunggu dan melihat Mia basah. Aku ikut berjalan di bawah hujan. Setiap air yang menetes, seperti mengetuk kepala berkali-kali. Hujan ini menghantam tubuh, membuat seragam dan tasku basah kuyup.

"Oyyy!" teriak lantang seseorang dari kejauhan.

Langkahku langsung terhenti. Mia menoleh sebelum aku menoleh.

Hujan menghalangi pandangan. Aku bisa mengira-ngira semakin ia mendekat semakian aku tau bahwa itu lelaki paruh baya membawa sapu lidi mendekati kami. Ia ikut-ikutan basah sebab menerjang hujan di lapangan.

"Pulang-pulang!" titahnya sambil mengusir kami dengan sapu.

Itu tidak sopan.

"Pulang! mau apa sih kalian!" tanyanya seperti membentak.

"Ponsel saya ...."

"Sana pulang! nggak baik di sekolah lama-lama. Kalian bukan anak kelas musik 'kan? cepat pergi! Mau saya pukul pakai sapu ini?"

"Tapi, Pak." Tolong mengertilah, ini bukan perihal sepele, Pak. Aku gugup bila membalas ucapan seseorang yang menggertak. Lebih tepatnya, aku gadis yang gampang takut walau dengan gertak ucapan.

"Alah, sana pulang!"

"Pak ...."

"Sana pulang!" Lagi-lagi ia memotong ucapannya Mia.

"Sana!" Ia mengangkat sapunya tinggi-tinggi.

Kembali dan kembali membentak kami.

Mia langsung meninggalkan aku. Langkahnya tak kembali bergerak cepat. Ia menggaruk-garuk rambut kribo.

Aku segera menyusul Mia, berjalan di sampingnya.

Kalau aku berada di posisi Mia saat ini, mungkin aku sudah menangis. Aku benci melihat temanku diperlakukan tak baik. Mia bukan sembarang gadis, dia istimewa menurutku.

"Dari dulu ...." Mia mengusap wajahnya. Tepat di kedua mata. Entah ia menangis atau sekadar mengusap air hujan di wajah. "Gua benci sama penjaga sekolah di sini!"

☆☆☆

Bisa double up minggu ini :)

Kasi aku bintang kalau kalian suka bab ini, komen di bawah kalau menurut kalian cerita ini sangat membosankan

Terima kasih

Oath Petrichor #GrasindoStoryIncTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang