Gerimis menyapa sore ini. Bergegas kami mampir ke kafe Cup untuk sekadar tukar cerita. Memang semalam aku tak belajar, namun soal-soal di ujian nasional tadi tak terlalu sulit. Bukan meremehkan, ya kenyataannya memang seperti hanya tengah membalik telor ceplok di wajan.
Ah, tiba-tiba teringat rumah. Tentang keluarga kami yang akan pindah ke Amerika. Aku menatap nanar lalu lalang mobil dari jendela besar ini. Ibu ataupun Ayah belum juga bicara denganku apa alasan mereka pindah. Lagi pula, aku belum siap mendengar pernyataannya nanti. Tak banyak yang harus Ibu ceritakan padaku, mungkin, aku akan langsung masuk kamar dan pura-pura tak peduli. Ya, itu caraku agar tak ada orang lain yang mengkhwatirkan aku tentang ini-itu.
Aku meneguk cokelat hangatku. Kulirik keempat pelajar yang duduk menghangatkan suasana di meja ini. Sesekali aku hanya tersenyum. Agar mereka pikir bahwa pikiranku tak telihat kosong melompong, lebih tepatnya mendengar pembicaraan mereka; padahal tidak.
Tentang Yasir. Walaupun diriku ini kakak yang terlihat benci pada adiknya---Ibu memang suka menuduh---aku mengkhwatirkan dirinya. Bagaimana dia bisa akrab dengan pelajar dan tetangga sebayanya di sana? Yasir sama sepertiku, tak andal dan tak minat untuk bisa berbahasa inggris. Kalau-kalau ada tetangga yang bertanya pada kami dan kami hanya bisa melongok, dikiranya kami anak tunarungu. Takutnya begitu.
Siapa bilang aku tak mengkhwatirkan diriku? Aku sangat khwatir. Kulirik mobil-mobil yang melintas dari jendela besar lagi. Kebanyakan manusia akan takut kehilangan sesuatu. Keluarga, teman, sahabat, kerabat, dan orang-orang terdekat. Aku bukan orang yang bisa melepaskan. Sekali dekat, harus tetap dekat. Selagi nyaman, aku terasa hangat; yang aku maksud adalah keempat temanku yang saling tertawa di meja ini.
Ah, aku tak bisa sebahagia mereka saat ini. Mungkin sampai kapan pun lagi, sampai aku bisa bertemu dengan mereka lagi. Entah berapa tahun keluargaku akan tinggal di Amerika.
Kulirik mereka, lalu kulirik jalan dengan hujan yang semakin deras dari jendela besar kafe Cup. Tawa mereka, tak kalah keras dengan denting hujan yang menyentuh genting kafe.
Aku terkekeh, pura-pura ikut tertawa saat mereka tertawa.
Kulirik jam di dinding yang menghadap langsung ke arahku. Sudah jam lima sore.
Aku memperbaiki posisi tas di punggung. "Ayo pulang."
Serentak mata mereka memandang jam dinding bersamaan.
"Enggak kerasa udah jam segini aja." Yudi berdiri lalu merenggangkan otot-ototnya.
"Tapi di luar masih hujan loh," kata Mia.
"Hujan-hujan-an?" usul Hana.
"Eh, jangan," sergahku.
"Siapa takut!" Yudi dan Maya menjawab serempak.
Aku hanya menepuk jidat. Dibilangin jangan. Besok masih UN, kalau sakit siapa yang susah?
"Udah lah, jangan banyak mikir. 'Kan elu yang usul mau pulang." Yudi menepuk pundakku dan bergegas keluar kafe. Diikuti oleh cewek-cewek yang keras kepala itu.
"Ayo, Yo. Enggak papa." Hana menepuk pundakku.
Apa boleh buat. Kalau Hana yang bilang, aku pasti setuju.
Aku menunggangi sepedahku yang diparkir di antara kafe Cup dan toko sebelahnya.
"Eh, dituntut dulu. Kita 'kan harus ke rumah tante gua dulu buat ambil motornya Yudi."
"Yaelah tinggal nyusul aja. Kan elu naik motor. Jadi cepet ngejar kita," jawabku.
Seragamku sudah mulai basah sebab kami tengah bersiap-siap di bawah pohon mangga di samping kafe Cup.
"Yaudah kalo elu mau duluan, ya, sana." Baru dibantah begitu, Maya sudah menaikan bibirnya sinis.
"Udah lah. Kita ke rumah tante-nya Maya dulu. Enggak masalah jauh juga. Enggak papa, ya, Yo." Lagi-lagi Hana membujukku.
Ah, apa daya lah diriku.
Aku mengembus napas. "Iya." Kuputar cepat bola mataku malas. "Ayo."
Baru beberapa detik berjalan, seragam kami sudah basah kuyup. Jalan menuju rumah tante Maya memang tak jauh. Hanya perlu sepuluh menit untuk tiba di sana.
"Yo ...." Tiba-tiba Hana menyambarku dengan pertanyaan, "Elu lanjut kuliah atau langsung kerja?"
Aku mengedipkan mataku yang perih akibat kelopak mataku terlalu banyak menelan air hujan. "Enggak tau." Aku menunduk, menatap sepatuku dan sepatu Hana yang menginjak genangan air.
"Kalau elu, Han?" tanyaku.
"Gua?"
Aku menatapnya. Alisnya saling bertautan.
"Bukannya tadi Hana udah cerita pas di kafe Cup, Yo?" sergah Maya.
Aku gagu. Bagaimana mungkin aku bisa melewatkan hal yang ini saat melamun tadi. Payah.
"Ngelamun dia." Yudi menimpal. Lengannya masuk ke dalam saku celana. Gayanya yang sok itu membuatku agak
"Ah, so tau lu, Yud."
Hana malah tertawa setelah mendengar ucapanku barusan.
"Kalau ada duit ya kuliah. Kalau kurang dana, ya mungkin cari kerja dulu buat biaya kuliah." Hana menatap lurus ke depan.
Pekerja keras sekali dirinya. Aku jadi iri.
Tibalah kami di rumah tante-nya Maya. Entah siapa namanya. Maya tak pernah memberi tahu.
"Ya Allah! Hujan-hujanan. Kalian enggak takut sakit apa?!" Dia menyambut dengan auman dari balik gerbang dengan sebuah payung.
Ia memanggil nama Maya berkali-kali. Seperti orang yang ingin marah-marah namun disabar-sabarkan.
"Masuk dulu sini." Tante berbadan gemuk itu membuka gerbang rumahnya.
Maya tak bergeming sama sekali. Tak lama aku mendorong tubuhnya---mengisyaratkan untuk menolak tawaran itu.
"Enggak, Tante. Ini mau cepet-cepet pulang. Udah ditunggu Mamah di rumah."
"Gampang. Nanti Tante telpon Mamah kamu."
"Kayaknya enggak usah deh, Tante. Orang tuaku juga udah nunggu di rumah. Katanya suruh pulang secepatnya," sergahku.
"Aku juga, Tan," tambah Mia.
Hana mengacung. Tanda bahwa dia juga demikian; tak mau untuk berada di rumah itu.
"Yud?" tanyanya.
"Aku, gimana teman-temenku aja." Yudi menyeringai.
Dia menatap Yudi agak tajam.
"Lagian masih hujan malah pulang. Siapa yang ngajakin?"
Demi kue lumpur di kadang sapi. Semua menujuk padaku. Sial.
☆ ☆ ☆
Demi permen cacha di lapang berumput wkwkwk
Akhirnya udah sampe part segini. Makasi banyak untuk semuanya yang menyempat-nyempatkan duduk menyimak drama Hana dana Teo sampai detik ini.
Aku syukuri dengan ucapan, Terima kasih banyak.
Bentar lagi cerita ini tamat, mohon panggil dan share link cerita ini ke teman-teman kakak sekalian. Biar kita bisa tenang mendapat kabar ending dari cerita drama ini :)
Jangan lupa vote dan komen, yaaaa
Salam miawwwww
KAMU SEDANG MEMBACA
Oath Petrichor #GrasindoStoryInc
Teen FictionFiksi Remaja Danau di gurun pasir hanyalah bagian dari fatamorgana. Daratan di laut lepas hanyalah bagian dari cerita dongeng. Hati yang bimbang akan menyesatkan perasaan seseorang layaknya ilusi semata. Orang bilang 'cinta itu buta tidak dapat dili...