Aku berteriak gemas. Mengetuk kepala berulang-ulang sambil mengatakan bodoh berkali-kali.
Aku menutup wajah dengan kedua telapak tangan. "Gua malu, Mi. Engga nyangka ada Teo di sana.""Ya gimana, ya."
Aku mendesah lalu menelungkup wajahku di meja. Mau aku simpan di mana wajahku ini? Tak mungkin juga 'kan operasi wajah?
Mia mengelus pundakku. "Udah-udah, jangan dipikirin. Asal lu tau, Han, cowok di luar sana tuh banyak. Lu tinggal tunjuk aja siapa yang mau lu pilih."
"Seandainya jari gua seajaib itu." Aku menggerang dengan menatap lurus tumpukan buku matematika di meja.
"Gua udah pengalaman kok. Gua masternya!" Mia meninju-ninju dadanya.
Mia pernah berpacaran sebanyak tiga puluh dua kali. Nominal itu sangat 'wow' di mataku. Entah ia masih mengingat tiap nama mantannya atau tidak. Jangan di ragukan, Mia berbakat dalam merayu cowok; kala itu. Tapi, sejak beredarnya hujatan dan fitnah yang tidak berasal dari sumber terpercaya bahwa Mia pernah melakukan haheho.
Memang mudah untuk menuduh orang, tetapi sulit untuk menemukan bukti yang sah.
Saat aku mendengar kabar itu ketika aku duduk di bangku kelas sepuluh semester dua. Aku adalah orang yang pertama kali sekaligus satu-satunya orang yang tetap mempercayai Mia bahwa itu adalah fitnah. Aku yakin, Mia tidak akan sudi melakukan hal senonoh itu.
"Tapi sayangnya gua nggak ada niat buat pindah hati ke orang lain, Mi."
Mia menaikan pundak.
"Mi, gua yakin elu orang baik, jadi please jangan hasut gua buat melakuakan hal yang engga-engga." Aku terkekeh.
Wajah Mia berubah seketika. Aku berhenti tertawa. Apa Mia tersinggung mendengar tuturku barusan?
Selang beberapa detik menampakan wajah tegangnya, seulas senyum terukir. "Yaelah, Han. Wah, pikiran lu sama kotornya kayak orang-orang. Walaupun gua pernah dituduh begitu sama anak-anak seluruh sekolah ini kecuali elu." Jari telunjuknya menempel di dadaku. "Sekarang terserah, keputusan ada di tangan elu."
Aku tertawa. Mia benar-benar serius mengatakan hal itu.
"Kok elu ketawa, Han?" Mia mengernyitkan alis.
"Sampai kapan pun tetep percaya elu. Nggak peduli apa kata orang tentang lu."
Mia menurunkan alisnya, lalu tersenyum. Aku senang melihat senyumnya terukir lagi.
"Tetap berteman?" Aku mengacungkan jari kelingking.
Mia pun melakukan hal sama.
Langit orange kini menyebar dipermukaan senja.
Kami mangawasi sekitar, harap-harap tak berpas-pas-an bertemu Teo. Mia menyeru agar kami segera menuruni anak tangga dan langsung menuju parkiran sepedah.
Entah mengapa banyak yang berubah dari Teo. Tak masalah dengan penampilannya, tetapi pada sikapnya padaku. 'Tragedi gudang' membuatku menimbang-nimbang apakah dia layak dibenci atas pengakuan bahwa ia tak kenal aku di ruang BK, atau perlu digeledah lebih dalam mengenai dirinya yang sekarang?
Akhirnya kami pulang dengan mengendarai sepedah. Lintasan sepanjang jalan pulang adalah tanjakan. Lampu-lampu rumah sudah mulai menerangi jalanan. Aku menatap jingga di langit. Wajahku tertimpa sembutar mentari yang hampir tenggelam.
"Lu tau nggak, Han? dulu kita se-TK, tapi gua nggak pernah lihat elu sama sekali. Aneh, kan?" Mia bernostalgia. Kalimatnya mengalihkan pandangaku yang sedari tadi menatapi langit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Oath Petrichor #GrasindoStoryInc
Teen FictionFiksi Remaja Danau di gurun pasir hanyalah bagian dari fatamorgana. Daratan di laut lepas hanyalah bagian dari cerita dongeng. Hati yang bimbang akan menyesatkan perasaan seseorang layaknya ilusi semata. Orang bilang 'cinta itu buta tidak dapat dili...