"Selamat Makan."
Aku menyantap makan malam. Aku yang membuat hidangan makan malam ini. Sepertinya aku cocok jadi chef terkenal sejagad raya. Terlebih lagi acap kali Mia sering mengajariku memasak makanan lezat, hanya dia yang punya resep makanan selezat masakannya itu. Beruntung sekali, bukan? aku bisa khursus masak langsung tanpa harus bersekolah.
"Enak banget, Mama suka," kata Mama setelah menelan satu suap daging.
"Pasti Mia yang ngajarin Hana masakan ini, ya?"
Aku mengangguk.
Sambil menyuap beberapa sendok makan ke dalam mulut, kuperhatikan sebelah tangan Mama mengenggam erat kursi rodanya.
Tak lama ia melepas gengamannya, lalu menyodorkan aku dengan makanan di piring di meja ini.
"Habiskan," ujarnya.
Kasihan melihat Mama sengsara seperti ini terus. Duduk berhari-hari di kursi roda. Mama semakin tua, rambutnya mulai beruban. Sayangnya, ia harus menikmati sisa hidupnya ditemani kursi roda.
Dua hari yang lalu ia menangis di kamarnya. Duduk di kursi roda di depan jendela kamarnya yang langsung mengarah hujan lebat di luar.
Aku tidak tahu pasti bahwa ia menangis, sebab aku hanya mengintipnya dari ambang pintu kamarnya. Yang terdengar hanya isakan kecil milik Mama.
Ingin sekali rasanya membuat Mama bisa berjalan kembali.
"Han? Hana? kok melamun?"
Aku menggeser sebelah lenganku yang menumpu daguku sejak mengamati Mama dari tadi.
"Engga, Ma?" jawabku bohong.
Aku melahap sesuap makan malam, menguyahnya perlahan.
Mama pun kembali melahap makananya. Sesekali ia meliriku curiga. Sebenarnya apa yang sedang di pikirkan anaknya ini.
Aku memotong daging di piring nenggunakan sendok lalu melahap sepotong.
Aku kembali melirik Mama, kemudian melihat kembali daging di piringku. Kuletakan sendok di samping piring. Rasanya, aku tidak terlalu lapar malam ini. Mungkin efek kenyang sebab makan soto Ibu Niab tadi sore di kantin.
Perbandingan lezatnya masakan Ibu Niah dengan resep Mia, keduanya seimbang. Masakan mereka sama-sama punya cita rasa tinggi. Ya, walaupun Mia kalah 4% dari racik masakan Ibu Niah.Mengapa sejak sore tadi aku terus menilai makanan orang? sepertinya aku berbakat jadi juri masak kompetisi di televisi.
"Loh, kok makannya udah. Dihabisin, mubadzir kalau sisa seperti itu." Mama nambah satu centong nasi lagi. Sepertinya ia benar-benar lapar.
Sepertinya Mama belum makan siang. Apa Mama tidak membuat sendiri makan siangnya?
Hampir setiap pagi biasanya aku membuat sarapan, sekaligus makan siang untuk Mama di rumah. Jarang sekali Mama masak. Sebab tungku kompor berada lebih tinggi dari kursi roda Mama. Jadi Mama selalu kewalahan kalau memasak tanpa bantuan aku. Maka dari itu, aku sering menyiapkan makan siang yang aku masak di pagi hari. Sekolahku full day, jadi aku tidak bisa pulang saat siang hari. Kasihan Mama sendiri di rumah.
"Tadi di sekolah, Mia neraktir aku makan soto, Ma. Sekarang perut aku udah kenyang duluan," jawabku diikuti kekeh di akhir kalimat.
"Ohya, ajak Mia main ke sini dong, Han. Sebulan ini dia gak dateng ke rumah kita. Kalau ada Mia rumah ini jadi engga terlalu sepi. Terlebih lagi, Mia suka membawa pancake setiap kali main ke sini."
Aku tertawa, Mama terkekeh. Ada-ada saja yang Mama pikirkan.
Apa yang dikatakan Mama itu mamang benar. Pasti kalau Mia main ke rumahku, terlebih dahulu di rumahnya ia membuat pancake. Tapi saat aku main ke rumahnya, aku hanya membawa makanan ringan, itu pun hanya sesekali saja.
Mama kembali melahap makanannya.
Ohya, aku lupa menyiapkan air minum. Aku mendorong kursiku ke belakang. Cepat-cepat aku membuka pintu rak piring. Kuambil satu gelas berada di paling pojok. Gelas itu di dihiasi gambar bunga yang mengelilingi kata "mama" berwarna hitam, dan bunga-bunganya berwarna-warni.
Aku mendekati dispenser. Sambil menuang air. Sesekali aku memperbaiki posisi rambutku yang menjuntai menghalangi mata.
Aku kembali melirik Mama yang hanya tampak pundaknya dari sini. Mama terlihat begitu lapar. Tak tega aku meninggalkannya sendiri lagi di rumah. Aku bisa putus sekolah agar bisa menjaga Mama seharian penuh. Walaupun aku sudah kelas dua belas SMA, aku berani mengambil risiko tidak ikut UN demi merawat satu-satunya orang paling spesial bagiku di muka bumi ini---Mama.
☆☆☆
Akhirnya bisa update, yuhuuu.
Emm, gimana ceritanya? G seru kan? (Yak tul :v )
Ohya, aku lagi ikut nyerbung nih di facebook.
Judul ceritaku "Kursi Roda Nomor 196"
kalau readers pengin baca ceritaku yg di sana, yuk main k akun fb aku "erlenggo muhamad"
Terima kasih semuanyaaa :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Oath Petrichor #GrasindoStoryInc
Teen FictionFiksi Remaja Danau di gurun pasir hanyalah bagian dari fatamorgana. Daratan di laut lepas hanyalah bagian dari cerita dongeng. Hati yang bimbang akan menyesatkan perasaan seseorang layaknya ilusi semata. Orang bilang 'cinta itu buta tidak dapat dili...