Tak ada yang membantuku menulis, tak ada yang menyerahkan contekan padaku, tak ada yang mengajakku ke kantin, aku butuh Yudi saat ini. Entah mengapa merasa bahwa sekolah tanpa Yudi itu rasanya mengecewakan. Kalau aku tahu jadinya begini, pasti aku tak sekolah juga. Perasaan kemarin Yudi sehat-sehat saja. Kabar yang buruk selalu datang tanpa permisi. Aku benci itu.
Akhir-akhir ini banyak yang berubah dari hidupku. Misal, bibir ini kadang-kadang suka tersenyum. Banyak orang yang harus kusapa saat berpas-pas-an. Sifat alamiah kedewasaanku tumbuh sepertinya. Tak begitu buruk. Lebih spesialnya lagi, bahwa aku sering chat-an dengan Mia untuk mencari informasi tentang Hana. Mia adalah juru kuncinya. Saat di perjalanan menuju sekolah tadi, sengaja Hana aku pancing. Hana sempat melongok mendengar ucapan ceplas-ceplosnya Maya. Aku yakin, Hana pasti cemburu.
Saat kutanya Hana, "Kenapa?", dia hanya menjawab, "Enggak papa."
'Enggak papa' nya Hana, pasti ada 'apa-apa-nya, Mia yang bilang begitu padaku.
"Yo? Kenapa lu?" Sedari tadi, aku cengar-cengri di bangku. Memikirkan Hana rasanya membuatku gila. Aku menatap cowok teman sekelasku dengan tatapan sayu.
"Mau ikut ke kantin enggak sama bocah-bocah?" tanyanya lagi.
"Kaga, ah. Sana," usirku.
"Enggak ada Yudi, jadi gila ni anak."
Aku menatapnya sambil menaikan sebelah alis.
"Duluan, Yo." Dia keluar kelas.
Yudi? Mengapa harus Yudi? Aku berdecak. Yudi itu temanku, bukan pacar. Oh ya, dia cuma pesuruhku saja.
Aku melirik bangku pojok di sana. Maya sudah keluar dari kelas dari tadi. Paling dia mengunjungi kelas Mia dan Hana. Masa bodo dengannya.
Kucoba merenggangkan otot-otot malas sebab terlalu lama duduk. Aku berdiri. Ah ... kuembus napas melegakan. Mungkin ke rooftop jauh lebih menenangkan.
"Makan, Yo." Salah satu cewek menawariku bakso.
"Ya," jawabku sambil berlalu. Aku tak mau makan bakso, hanya ingin tidur di kelas susahnya minta ampun.
Sejanak aku berhenti di depan tangga menuju lantai atas. Ternyata tangga gedung sepi, biasanya siswa-siswi suka nongkrong-nongkrong di anak tangga. Seingatku, beberapa hari sebelumnya kepala sekolah tak pernah membuat larangan agar semua pelajar tak boleh duduk-duduk di sini lagi.
Aku mulai melangkah, satu-dua-tiga ....
"Kak." Dilangkah ke empat, aku berhenti. Kutatap orangnya dengan mata sayu.
"Itu tangganya lagi di pel," kata adik kelas yang suka mengatur-atur kakak kelas.
Aku melapas kedua sepatuku, lalu kembali melangkah. Dasar adik kelas, bikin malu saja.
Tibalah aku di rooftop. Tempat ini hanya milikku seorang. Sesekali angin melambai, menyapa diriku yang tengah dilanda kesepian. Aku menarik napas dalam-dalam sambil tiduran di bangku berbahan dasar cor-coran yang sengaja dibuat. Sejak aku berteman dengan Hana dan Mia, aku jadi jarang ke atas sini lagi. Padahal saat kelas satu SMA, aku, Yudi, dan Maya sering ke atas sini.
Sekarang aku percaya, waktu memang bergerak cepat. Sebentar lagi pun aku akan lulus SMA, sementara aku belum memikirkan masa depan secuil pun. Aku bukan tak pernah punya cita-cita. Waktu SD sampai SMP cita-citaku hanya ingin diperhatikan oleh Ibu dan Ayah. Semua sudah terbayar saat aku masuk SMA.
Banyak yang bilang bahwa masa depan itu rumit, makannya aku tak pernah memikirkannya. Tapi, semenjak teman-teman sekelas sering bicara tentang SMA yang katanya masa-masa paling indah di sekolah, aku mulai menyadarinya pula. Banyak yang harus kuubah dalam caraku belajar, agar tak perlu lagi meminta bantuan Yudi. Entahlah ... apa aku kuliah atau hanya jadi pengangguran.
Dalam diriku ini, aku belum pernah bilang bahwa 'aku adalah pemenang'. Aku bukan tipe orang yang suka berjuang untuk diri sendiri. Saat ikut tawuran SMP pun, aku hanya mencari kesenangan atas pelampiasan tentang sebuah kasih sayang tak tak pernah aku genggam dari orang tua. Begitu naif diriku dulu. Aku terkekeh sambil menatap langit biru yang terbentang luas. Cuaca pagi ini, secerah kadaan hatiku sekarang. Ada yang membuatku tersenyum lewat kenangan masa laluku yang rasanya amat bodoh itu.
Terdengar bisik-bisik dari anak tangga. Aku menegakkan punggung. Siapa yang berani naik ke atas sini tanpa izin padaku terlebih dahulu?
Saat kutatap rambut yang muncul perlahan itu, ah ... itu rambut kribo milik Mia. Ada Maya juga, dan ... ada Hana.
"Sendirian aja," kata Mia.
Aku hanya membalas dengan tersenyum. Ternyata ada yang tengah menyembunyikan cemburunya. Oh ... Hana.
"Cie, enggak ada Yudi jadi kesepian," goda Maya.
Aku berdecak. "Paan sih."
"Cie ngambek, baru digituin," tambahnya lagi.
Aku mendengkus kesal. "Untung gua orangnya sabar, May."
Maya malah terkekeh. Tampaknya ia senang melihat aku kesal begini.
"Itu punya lu, Yo." Hana menunjuk semamgkuk bakso yang menggiurkan itu.
Aku ikut duduk di bawah bersama mereka. "Buat gua?" tanyaku agar lebih menyakinkan.
Hana tak menjawab, dia asik mengaduk baksonya dan pura-pura tak mendengar ucapanku.
"Buat gua, Han?"
"Iya makan aja sana," jawabnya ketus. Ia menunjuk bakso yang ada di hadapanku itu dengan sendok.
Ada yang terbawa susana sepertinya. Kecemburuan Hana semakin tampak jelas.
Aku mulai menyuap bakso itu sambil tertawa pada Mia. Ada yang tengah Mia dan aku sembunyikan dari Hana.
☆ ☆ ☆
Hana baper kwkwkwk
Hana kalo marah cute banget, ya :v jadi zayang wkwkw ( jijik anjer :v)
KAMU SEDANG MEMBACA
Oath Petrichor #GrasindoStoryInc
Teen FictionFiksi Remaja Danau di gurun pasir hanyalah bagian dari fatamorgana. Daratan di laut lepas hanyalah bagian dari cerita dongeng. Hati yang bimbang akan menyesatkan perasaan seseorang layaknya ilusi semata. Orang bilang 'cinta itu buta tidak dapat dili...