Aku berdecak, buku yang membosankan. Kututup buku itu, lalu diletakan di meja. Kutatap cover bukunya yang bergambar pria berjas hitam dengan celana panjang hitam. Sebelah lengannya tengah memperbaiki dasi, sambil melangkah gagah ke depan.
Perpustakaan sepi, seperti tak ada yang berniat berkunjung. Rasanya ingin tidur di sini, ruangan yang lenggang selalu membuat ngantuk.
Tak lama dari kaca besar perpustakaan, ada yang melintas. Aku langsung memutar bola mata sebab malas menatap mereka. Buku yang tergeletak di meja, kini kurengut kembali. Aku mengira-ngira pasti mereka akan masuk ke perpustakaan.
Dan, ya, benar begitu. Sekarang mereka sudah melintasi pintu perpustakaan dan memberi salam pada penjaga perpustakaan.
Si gadis rambut kribo itu menatapku bengong saat sudah duduk di kursi perpustakaan bersama temannya itu. Lalu, ia menarik seragam teman di sebelahnya.
Tunggu, mengapa aku malah memerhatikan mereka? Ah, tak ada gunanya. Sekarang, meraka akan benar-benar mengamati.
Aku menurunkan pundak, agar wajahku bisa tertutup oleh buku ini. Namun, lagi-lagi mataku melirik pada kedua gadis di sana. Sepertinya mereka menjadikanku bahan obrolan. Aku menutup wajahku dengan buku, pundakku semakin membungkuk agar tidak satu pun helai dari rambutku tampak di mata mereka.
Mengapa mereka sering mengamati diriku? bukannya salting, kemanapun aku pergi, mereka terus saja mengekor.
Sesekali aku pura-pura tidak menghiraukan meraka, tapi tidak bisa. Diriku paling tidak suka ditatap demikian, diintai, dibuntuti, dijadikan nara sumber, ataupun pusat perhatian.
Mata mereka masih menyorot tajam. Sekarang berbisik-bisik, si kribo mendekatkan bibirnya ke telinga gadis satunya. Lalu sebaliknya. Mereka menjadikanku objek titik fokus. Rasanya ingin segera angkat kaki dari ruangan ini.
"Yo! Lu ngapain?" tanya Yudi. Gerak-gerikku berhasil memancing pertanyaan.
Aku mengeletakan buku itu di meja. "nggak, cape aja dari tadi tegak terus." Aku mengelak.
"Udah selesai bacanya, Yo?" tanya Maya mengalihkan pertanyaan Yudi barusan.
"Ohya, udah, udah." Padahal aku baru membaca dua halaman saja. "Ayo kekelas bentar lagi masuk," ajakku sambil berdiri.
"Kok gitu?" Yudi berdiri.
Aku tak menggubris, secepat kilat melesat keluar ruangan meninggalkan mereka berdua. Ditatap seperti tadi jantungku berdegup. Aneh. Mata bulat dari gadis belesung pipit itu terbang mengalun di benakku. Meningatkan aku pada seseorang.
*****
Mereka bertiga pergi keluar ruangan. Aku hendak mengejar, namun Mia menarik lenganku.
Aku kembali duduk, sesekali menggelus tengkuk. Mataku tak bisa lepas dari pintu perpustakaan, di mana Teo keluar beberapa detik yang lalu.
"Han." Mia memukul pundakku.
"Iya," jawabku tak menoleh.
"Yakin lu masih mau bertahan sama Teo?"
Aku menoleh padanya.
"Nggak bosen di jadiin bayangannya dia?"
Mia mematuk-matuk meja dengan jari-jari.
Lagi-lagi aku mengelus tengkuk.
"Dia cuek."
"Ya ...." aku kembali memandang pintu perpustakaan, di mana hujan turun di luar dengan deras.
"Mungkin cuek adalah cara dia bertahan."
"Dan bertahan adalah cara hidup lo?"
Aku menoleh pada Mia. Seketika ruangan lenggang, amat hening. Aku termenung, ada sebongkah harapan yang terus menggantung di dinding perasaan. Berharap, di bawah hujan seperti kecil dulu, aku rindu kenangan itu.
☆ ☆ ☆
harapan ...
silakan, tinggalkan votemen :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Oath Petrichor #GrasindoStoryInc
Teen FictionFiksi Remaja Danau di gurun pasir hanyalah bagian dari fatamorgana. Daratan di laut lepas hanyalah bagian dari cerita dongeng. Hati yang bimbang akan menyesatkan perasaan seseorang layaknya ilusi semata. Orang bilang 'cinta itu buta tidak dapat dili...