15. Teo : Membina Pria Progresif

30 6 2
                                    

Kembali di kehidupan yang membosankan. Hari senin, tidak ada upacara, berkat hujan. Upacara atau tidak, sama-sama membosankan.

Banyak pelajar hirir-mudik lari-lari kecil menerjang rintik hujan menuju ke tepian lorong-lorong kelas. Parkiran kendaraan para guru masih luas, muat diisi tiga bus. Sebagian guru belum tiba di sekolah, alhasil jam pelajaran kosong, apapun kegiatan pelajar saat ini tidak menjadi masalah, sebab tidak ada yang mengawasi.

Sejujurnya, aku malas berangkat sekolah. Ya, hujan adalah faktor utama. Tapi, ban mobil berkata lain. Ayah mengantarkanku naik mobil ke sekolah. Aku senang? jelas tidak! Seharusnya aku sudah tergeletak di sofa ruang keluarga.

Aku yakin, hari ini belajar-mengajar tidak berlangsung efektif. Sekarang sudah pukul delapan pagi. Mentari tidak menampakan wujud. Aku lebih suka hujan. Aku bukan anak SD yang suka becek-becekan di genangan got, aku bukan bocah berambut batok lagi, aku sudah dewasa. Waktu kian berputar, dewasa bukan jadi masalah. Badan besar otak kecil, memang benar. bayangkan kalau orang yang mempunyai otak lebih besar daripada badannya. Sebuah pernyatan yang sekarang dapat aku tafsirakan dengan baik. Walaupun aku sudah dewasa, kalau ada waktu luang, aku ingin keluar di bawah hujan bak anak-anak kecil lakukan.

Aku ingat saat upacara, mematung lama disorot sinar mentari pagi. Sejauh pengalamanku duduk di bangku sekolah, tidak pernah pingsan saat upacara. Kaki menggigil, ya pasti! yang teringat, saat kepala sekolah berpidato, ia hampir memakan satu setengah jam. Khutbahnya membahas tentang menjaga kebersihan. Tak habis pikir. Asal diingat kembali, ucapannya selalu terngiang di otakku. Mengucapkan kalimat yang sama berulang-ulang kali "kebersihan adalah sebagian dari iman"

pagi ini aku mengikuti instruksi dari Maya, untuk pergi ke perpustakaan sesuai janjiku waktu itu. Walaupun angin disertai rintik hujan ikut menari-nari di atas kami.

"Gua enggak yakin di perpustakaan ini ada buku chicklin," ujar Maya sambil menggaruk dagu.

"Elu yang nyuruh gua waktu itu." Aku menebas pernyataannya sambil memilah-milah buku di rak.

Teringat kembali saat aku disiram teh manis oleh Maya. Pernyataannya barusan, membuatku gemas ingin meremas mukanya.

Kata Maya, aku harus lebih sering membaca tentang perasaan perempuan, gadis remaja. Menimba ilmu tidak bermutu sama saja makan tanpa nasi. Gunanya membaca buku itu untuk apa? Aku tidak punya pacar.

Maya menggaruk kepala. "Gua pikir lu nggak akan ambil serius."

"Sebenernya, gua juga nggak mau. Tapi, udah terlanjur sampe di sini."

"Eh ini novel bukan?" Tanya Yudi. "Yang itu," kata Yudi sambil menunjuk.

"Sampulnya menarik." Maya mengomentari, mengelus dagu.

"Judulnya apa ?" Aku mengejanya. "Membina pria progresif."

Yudi memukul punggungku dengan kencang. "Nah cocok sama lu Yo!"

Aku mengaduh sakit, lalu mengelus pundak. Yudi menyeringai, ia sungguh sangat bermaksud memukulku dengan pukulan kencang.

Aku meraih buku itu. Lalu membolak-balik. "Boleh juga."  Aku menyeringai.

Kami duduk di kursi perpustakaan dengan leluasa. Ruangan sepi hanya ada kami dan penjaga perpustakaan yang sibuk mengetik keyword di depan komputer. Sudah pakai kacamata, tetapi, jarak antara monitor dan kedua matanya sangat dekat.

"Daftar isi." Aku membaca.

"Gak usah dibaca." Maya membalik lembar selanjutnya.

"Nah, buku ini menjelaskan bagaimana cara agar para pria menjadi lebih adil dalam mengambil sikap, buku ini ..."

"Buku ini nggak ada hubungannya sama gua," sergahku.

"Ada pasti! baca dulu deh," kata Maya meyakin.

Yudi menempel sangat dekat denganku, aku menoleh, matanya menyipit agar dapat membaca isi buku itu. Aku bergeser, Maya yang berada di sebelah kananku, tersenggol sedikit. Dan ia menatapku, aku tahu ini terasa ganjil. Diriku sebagai pembatas mereka berdua lebih tepatnya aku berada ditengah mereka.

Aku menarik buku itu dan berdiri. "lebih baik gua baca sendiri aja."

"Lah 'kan kita mau ikut baca juga," kata Yudi. "Iya 'kan, May,"

Maya tersenyum tipis, tampak tak iklas. Ia tahu kejadian sebelumnya, ketika sikuku tadi sebenarnya menyenggol di atas dadanya. Untung saja tidak terlalu bawah. Jangan pikir bahwa aku suka dengan hal itu. Aku hanya tidak terbiasa, tersenggol dikit oleh perempuan saja sudah terperanjat. Apa lagi ... ah. Aku minta maaf, May.

Aku duduk di kursi lain. Memunggungi Maya yang juga membaca buku berhalaman super tebal. Apa yang dilakukan gadis tomboy dengan buku itu. Bukankah dia adalah pelajar paling tertib yang tidak pernah mengerjakan pr. Sementara Yudi sibuk memilah-milih buku di rak. Aku mengempas napas panjang dan mulai membaca di ketenangan ruangan dengan suara rintikan hujan yang menetes di atap gedung.

☆ ☆ ☆

Maaf telat, maaf kurang tertib update nya :v

Oath Petrichor #GrasindoStoryIncTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang