Hujan turun begitu deras. Aku menggayuh pedal sepedaku dengan kencang. Terpaan angin menabrak tubuhku, hampir aku ikut terbang di udara. Bersusah payah melawan angin di badai seperti ini, membuat kakiku semakin lelah.
Sejauh mata memandang, semua terlihat buram. Hujan menutup pandangan. Sesekali sebelah lenganku menyapu rambut di dahi berkali-kali sebab menghalangi pandangan. Di belakang, petir menyambar hingga kilatnya bersinar menghias langit yang sedang marah.
Mia tetap semangat menggayuh sepedahnya. Sementera aku menggigil, tubuhku mulai membeku saat ini.
"Di-ngin, Mi," kataku tertatih-tatih. Gigiku saling mengelutuk.
Mia yang sejak tadi terus berada di depanku menoleh sejenak, melihat kabar sahabatnya yang kedinginan. Ini bukan hujan tetapi badai.
"Teo masih ada di sekolah nggak, ya?"
Mia melirikku. Entah itu tetapan atau bukan, wajahnya samar-samar ditimpa air hujan. Aku tak kuat membuka mulut lagi. Entahlah, kami sengaja menghindarinya saat ia duduk di kursi meja piket. Kejadiannya begini, aku dan Mia hendak keluar dari gerbang sekolah namun, masalahnya adalah Teo tengah duduk di meja guru piket. Padahal aku tak ingin menampakan wajahku lagi di hadapannya.
Mia mengajakku bersembunyi di balik tembok. Aku menggigit bibir bawah, sangat cemas. Sepertinya Teo tengah menunggu kedua temannya itu.
"Tumben, ya, Teo duduk di situ," kata Mia.
Aku hanya mengangguk.
"Dia enggak lagi nungguin temennya, Han. Kayaknya dia nungguin elu."
Aku mengernyitkan dahi. "Engga, engga. Jangan kepedean, Hana." Aku mengingatkan diriku sendiri, menyakinkan bahwa bukan aku yang Teo tunggu.
Aku berfikir sejenak sambil menyandarkan kepalaku di tembok lalu menutup mata. Ayolah cari jalan keluarnya. Aku membuka mata. Lalu kembali mengintip situasi. Ah ... ada mobil bak terbuka, mobil kol buntung yang akan melintas menuju gerbang sekolah.
Aku ada ide. Kuberi tahu Mia dengan membisikinya. Ia menggangguk setuju. Perlahan aku mengambil langkah sambil menuntun sepeda.
Sebentar lagi tubuhku akan dihalangi oleh mobil itu, dan kami langsung melaksanakan aksi untuk bersembunyi di balik mobil tersebut. Rencana ini berhasil. Kami berhasil lolos.
Itulah sebabnya sekarang kami berada di tengah badai yang mengamuk ini.
"Ne-duh dulu enggak, Mi?"
Mia mengabaikanku. Aku benar-benar kedinginan. Pikiranku kacau, ikut terbang bersama badai mengerikan. Hanya ada rasa takut di benak. Harap-harap petir tidak menyambar. Rasanya kami sudah memakan waktu yang cukup lama selagi menerjang badai. Bukan waktu yang normal saat kami pulang seperti hari-hari biasanya. Peralanan pulangku kali ini tak semenyenangkan seperti di sore-sore hari sebelumnya yang lebih hangat.
Sembab-sembab aku menatap awan nicolonimbus. Langit semakin gelap saja, seperti sudah masuk jam enam sore. Bola mataku perih sebab ditabrak tetes hujan berkali-kali. Kapan badai ini akan berhenti?
"Mi ... " suaraku lirih. Aku tidak kuat menahan dingin. Kedua lenganku yang menggenggam stang sepeda semakin membeku. Angin berembus kencang, menabrak tubuh lemahku kesekian kalinya. Dengan kekuatan yang tersisa aku menahannya, berusaha melawan sekuat tenaga yang aku punya.
Genggamanku pada setang mulai oleng. Tak lama stang sepedaku berputar 90 derajat. Aku tersungkur dan langsung tergeletak tak berdaya di jalan yang amat sepi ini. Aku tak kuat menjerit, walaupun kakiku terkilir. Sebab masuk kedalam rongga jeruji depan sepeda. Sakitnya bukan main. Ingin rasanya berterika. Namun, suaraku lirih. Sahabatku tidak mendengar temannya menjerit minta tolong.
"Mi .. a, tu-nggu."
Entah Mia sudah ke mana. Ia hilang di telan derasnya hujan.Sementara itu aku masih tergeletak seperti orang sekarat. Rambut hitamku menutupi wajah. Aku benar-benar tidak berdaya. Sendiri di tengah jalan tanpa seorang pun yang menemani. Pakaianku lusuh, basah, awut-awutan bak gelandangan nyasar.
Samar-samar sebuah bayangan menganpiriku. Aku melirik bayangan itu. Tinggi dan kuat. Mirip dengan datangnya malaikat pencabut nyawa.
Lamat-lamat aku menoleh, memperhatikan ujung kepala sampai alas kakinya. Ia menekuk lututnya untuk membopongku. Oh ... dia bukan malaikat. Dia hanya remaja cowok biasa. Kulirik sepeda ontel yang di parkir di sebelahnya yang amat aku kenal, warnanya, belnya tak asing di mataku.
Perlahan tubuhku diangkat olehnya. Ia memegang belakang leherku. Seketika rambut hitamku tejuntai jatuh ke bawah.
Sekarang aku benar-benar di rangkulnya. Ia membobongku erat, wajahku berada di dadanya yang cukup busung. Aku berusaha menatapnya lebih jelas untuk meyakinkan bahwa dia lah orang yang aku maksudkan. Hidungnya mancung, pipinya yang tirus, dan matanya yang hampir bulat sempurna menatapku dengan kekhawatir.
Untuk pertama kalinya aku di rangku oleh seseorang.
Untuk pertama kalinya aku menatap seorang cowok dekat-dekat.
Untuk pertama kalinya, ada seorang cowok yang mau menolongku.
Dan
Untuk pertama kalinya, kini ia hadir kembali di sisiku.
Janji itu benar teo ...
Oath Petrichor, sumpah aroma hujan. Kau kembali, Teo.
KAMU SEDANG MEMBACA
Oath Petrichor #GrasindoStoryInc
Teen FictionFiksi Remaja Danau di gurun pasir hanyalah bagian dari fatamorgana. Daratan di laut lepas hanyalah bagian dari cerita dongeng. Hati yang bimbang akan menyesatkan perasaan seseorang layaknya ilusi semata. Orang bilang 'cinta itu buta tidak dapat dili...