54. Hana : Maya memang begitu

5 1 0
                                    

Sinar terbang dari ufuk timur.
Membiaskan embun pagi yang menempel pada bunga-bunga di sepanjang jalan.

Aku berdiri tegap di depan suatu rumah.
Rumah yang sudah tak dapat kukenali.

Mengapa sekarang ada dua rumah kosong di sini?

Bukankan seharusnya hanya rumahku yang tak di tempati.

Tapi mengapa ... rumah di sebelahnya kosong juga?

Oh ... Teo.

Kau ingin ke mana ....

Sayup-sayup semuanya tampak terasa memanaskan mata. Ah, ternyata sinar mentari tengah berusaha membangunkanku di pagi yang cerah ini.

Tunggu ....

Aku mengucek mata. Aku lupa habis mimpi apa semalam. Sepertinya penting. Kulirik jam dinding yang sudah menunjukan pukul tujuh. Di mana Mama? Apa ia tak berniat membangunkanku? Tak biasa bangun jam segini. Entah mengapa, kalau tidur terlalu lama, punggungku jadi pegal untuk tegap.

UN akan dimulai jam 8 pagi ini. Sementara aku belum siap-siap sedikit pun. Sesegera kuturuni anak tangga. Saat kucek kamar Mama, ia masih tertidur pulas. Sesekali kugoyangkan kakinya sambil membangunkan.

"Ma, Ma ... bangun."

Terbitlah senyum manis dari bibirnya itu. Mama bak seorang nenek tua dalam dongeng anak-anak. Bahkan wajahnya yang baru bangun dari tidur itu, tampak sangat bersahaja.

Mama segera bangkit dari kasur, lalu kubantu untuk menduduki kursi rodanya. Ketika ia membuka hordeng kamar, aku langsung melesat ke kamar mandi.

Tampaknya hari ini adalah hari besar. Jantungku memuncak sebab takut hasil nilai UN-ku anjlok. Semoga saja tak begitu. Semalaman aku sudah belajar dengan sungguh-sungguh. Walaupun pelajaran bahasa Indonesia tak begitu sulit---kata orang---tapi tak semestinya disepelekan.

"Doain nilai Hana bagus, ya, Ma," kataku saat duduk di meja makan sambil menyantap sarapan.

"Udah pasti." Mama menggulung mie dengan garpu, lalu melahapnya.

Aku tahu itu. Terima kasih, Ma.

"Hana berangkat, Ma."

Ia mengecup keningku lalu menatap anaknya ini sampai hilang ditelan kejauhan.

Kugayuh sepedah dengan cepat menuju rumah Teo. Seperti biasa, Teo sudah menungguku di trotoar depan rumahnya.

"Selamat pagi, Tuan putri," sapanya. Senyumnya mengembang menggodaku.

Pipiku memerah. "Pagi juga, Tuan raja."

Ia membalas kekehku.

Kami menerobos jalan yang cukup ramai oleh para manusia yang tampak buru-buru seperti kami.

Mentari bersinar, seri-seri semua orang ditepi jalan membawa kebahagianan bagi siapa pun yang melihat. Terutama Teo yang acap kali menyapa tetangga-tetangganya dengan ramah.

Teo memulai pembicaraan dengan mengulas tentang film-film terbaru. Aku senang mendengarnya. Teo itu banyak bicara, dan suka bercerita. Dia tak membiarkan perjalanan setiap berangkat sekolah kami hening ditelan pikiran masing-masing. Entah mungkin dia sudah menulis stok apa yang harus diceritakan padaku setiap harinya. Namun, selama ini, dia tak pernah menyinggung tentang kepegianku waktu itu. Entah ia memang tak mau mendengar atau ia sudah tahu bahwa ini bukan kisah yang harus diceritakan. Jadi, kami hanya lebih sering mengulas bagaimana keadaan kami kecil saat aku di Jakarta, dan dia yang bosan tinggal di kota hujan ini. Ceritanya amat hangat di telinga. Dan ... seandainya aku berharap tak pindah waktu itu.

Sejenak setelah kuceritakan bahwa aku jarang datang ke suatu tempat seperti tempat yang kami kunjungi kemarin minggu, dia menatapku lama.

"Kenapa?"

"Dari dulu, elu enggak pernah berubah, Han. Banyak ngomong," katanya.

Lah, padahal kukira dia yang lebih banyak bicara. "Sama, elu juga. Eh btw, tapi elu enggak sejahil dulu." Aku terkekeh.

Dia mengangat kepalanya. "Oh ... pengin dijailin nih ceritanya."

Aku memasang wajah sok. "Iya. Kalo berani."

Setelah kubilang begitu, Teo malah tertawa lebar. "Nantang nih?"

Aku masih memasang wajah sok, lalu menarik hidungku ke atas.

"Awas aja. Inget! Kalau gua jahilin, jangan nangis, ya."

"Siapa takut."

Tiba-tiba terdengar klakson kencang yang mengangetkan hingga hampir saja sepedahku oleng menabrak sebuah motor yang melintas. Gara-gara sepedahku oleng, sang pengendara motor itu menyentilku dengan kalimat kasar. Aku tak tak peduli.

Saat kulirik siapa gerangan, ternyata Yudi dan Maya.

"Gaya banget. Sepeda kalian mana emang?" tanya Teo agak meninggikan nada.

"Ini nih, sepedah kita rusak," kata Maya sambil melirik Yudi sesekali.

"Mana ada. Ini si Maya enggak mau naik sepedah. Sebenernya cuman sepedah gua yang rusak. Si Maya pengin gonceng aja, katanya dia ...."

Maya langsung menutup mulut Yudi.

"Karena?" Aku bertanya.

"Udah, Han. Jangan dengerin mereka. Kebanyakan bo'ongnya."

"Ish! Dasar sok tau." Mungkin karena Maya tak kuat dibilang pembohong, ia langsung menendang sepedah Teo.

Sontak kami semua berjerit histeris.

☆ ☆ ☆

Adehhhh pacar siapa si itu. Kek bangke banget wkwkwk

Tag orang yang kayak Maya
Di sini. Biar sadar diri dia wkwkwkw

Oath Petrichor #GrasindoStoryIncTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang